Jumat, 23 November 2012

Lima Ideologi dalam Pendidikan Matematika



Cermin #6

Sumber gambar: beckbelajar.blogspot.com
 Segala sesuatu memiliki tatakan atau landasan, begitu kata seorang doktor. Pun demikian dengan kurikulum pendidikan yang dilandasi oleh pandangan filosofis tertentu. Paul Ernest, seorang ilmuan, menyatakan dalam peta pendidikan yang dibuatnya, bahwa terdapat lima ideologi dalam pendidikan matematika meliputi industrial trainer (diusung kaum industrialis), technological pragmatist, old humanist, pendidikan progresif dan pendidikan untuk semua (education for all; dalam referensi lain disebut sebagai public educator).



Pertama kaum, kaum industrialis. Menurut pandangan kaum industrialis, semua dikerahkan untuk kepentingan industri termasuk pendidikan. Maka, bagi mereka, seni dalam pendidikan tidak bermanfaat. Pendidikan diarahkan pada hal-hal untuk menjadikan anak didik sebagai tenaga kerja. Pada jenjang pendidikan dasar, misalnya, merupakan pengaruh kaum industrialis jika muatan kurikulumnya hanya berupa membaca, menulis dan berhitung. Dilihat dari sisi kemanusiaan, pandangan kaum industrialis mereduksi banyak kebutuhan anak didik. Intuisi tidak dikembangkan dalam hal ini.

Industrialisasi dapat dengan mudah ditemukan di sekitar kita. Ketika kita membiarkan anak menonton tayangan televisi sepanjang harinya, untuk melewatkan waktu, tanpa pendampingan, di mana sebagian besar tayangan totally bermuatan entertainment saja, maka kita telah melakukan industrialisasi terhadap anak. Mengapa? Karena kebutuhan anak yang lain menjadi tidak terpenuhi. Anak memerlukan bimbingan spiritual untuk menumbuhkan ideologi asasi dalam dirinya. Anak perlu ditumbuhkan jiwa seni, melalui sastra, menyanyi, dan sebagainya. Kata Umar bin Khatab r.a., “Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut menjadi pemberani."  Dalam referensi lain disebutkan, "Ajari anakmu sastra, agar hatinya menjadi lembut!"

Kaum old humanist, bukan humaniora, mengarahkan kuat pandangan yang berpusat pada diri manusia, bukan pada Tuhan. Artinya, aspek spiritual dinihilkan dalam hal ini. Kaum industrialis, konservatif dan old humanis memiliki pandangan yang hampir sama mengenai pendidikan.  Ketiga ideology ini mendefinisikan matematika sebagai body of knowledge. Maka, menurut ketiganya, matematika juga merupakan struktur pengetahuan. Apa yang layak dikritisi dari pandangan ini? Jika kita mengajarkan matematika sebagai struktur pengetahuan saja, maka kita baru menempuh separuh dari matematika. Separuh yang akan melengkapkan adalah intusi. Maka, matematika menjadi utuh ketika dipandang sebagai struktur yang dibangun dalam kerangka intuisi ruang dan waktu. Masih menurut  kaum industrialis, konservatif dan old humanis, ujian adalah eksternal tes, berupa ujian nasional.
       Adapun kaum progresif dan pendidikan untuk semua (education is for all) memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan pandangan tiga ideologi yang telah disebutkan di atas. Bagi mereka, matematika adalah kegiatan, bahkan bagi kaum yang berideologi education is for all, matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Bagi keduanya, evaluasi dulakukan melalui portofolio. Saya beranggapan bahwa portofolio mengandung makna bahwa evaluasi dilakukan dengan memandang proses.
Begitulah, semua berdefinisi dengan masing-masing motif yang melatarbelakanginya. Lima ideologi ini adalah yang pernah dan masih mewarnai kurikulum pendidikan di dunia. Bagaimanapun wujud kurikulum di sebuah negara, dapat ditarik kepada ideologi yang melandasinya. Pun di Indonesia saat ini di mana kurikulum 2013 akan segera diberlakukan. Inilah dunia makro pendidikan. Adapun dunia mikro adalah yang ada dalam pikiran kita masing-masing. Maka kita akan memiliki pandangan tersendiri mengenai pendidikan, matematika menurut dunia makro kita masing-masing. Inilah sebenar-benar kekuatan yang memuat daya ubah dalam dunia pendidikan yang kita tekuni saat ini.
Lalu bagaimanakah kita bersikap terhadap pandangan dalam dunia makro tersebut? Satu hal penting adalah separuh dari matematika yang membuat matematika utuh, yaitu intuisi. Intuisi adalah kerangka pendidikan. Intuisi adalah 80 % hidup kita. Hilangnya intuisi berarti juga terancamnya keberadaan kehidupan. Maka penting bagi kita untuk selalu menumbuhkan intuisi dalam diri kita dan juga dalam diri anak didik kita. Maka, tanggung jawab kita adalah mengelola pendidikan yang mampu menumbuhkan intuisi anak didik.

Minggu, 18 November 2012

Stigma

Cermin #5

Stigma




Saya sangat tertarik pada kajian mengenai stigma. Mengapa? Stigma adalah hal khusus yang hanya bisa dihadapi dengan cara khusus. Stigma bukanlah selayaknya suatu komunitas yang dapat dikontrol melalui pemimpin atau tokohnya. Menghadapi stigma adalah suatu permainan, maka mainkanlah. Menghadapi stigma adalah strategi, maka buatlah strategi itu.
Stigma bermula dari isu, gossip dan fitnah. Maka berhati-hatilah dengan tiga hal itu. Stigma dapat dengan mudah tersebar, meluas, merebak, mempengaruhi persepsi. Stigma juga ditentukan oleh kuasa yang dimiliki subjek. Semakin luas kuasanya, ia semakin mampu memproduksi stigma yang pengaruhnya juga berbanding lurus dengan keluasan kuasanya. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah mampu mempengaruhi guru saat memberikan pengarahan mengenai RPP. Namun ketika pengawas datang dan juga memberikan pengarahan mengenai RPP, kepala sekolah dan guru akan tunduk terhadap pengarahan sang pengawas. Ketika yang datang adalah reviewer, maka kemudian pengawas, kepala sekolah dan guru tunduk pada pengarahan reviewer tersebut. Demikianlah stigma yang diproduksi oleh banyak subjek yang berbeda kuasanya.
Stigma adalah keadaan buruk yang menimpa masyarakat, menimpa banyak orang sehingga kita tidak ingin mengingatnya. Bangsa kita pernah mengalami stigma, maka kita menjadi tidak ingin mengingat stigma itu. Stigma diperlukan oleh masing-masing subjek untuk memperlancar tugas-tugasnya. Stigma merujuk pada kondisi dengan muatan tertentu, muatan yang penuh kepentingan. Pada pemahaman yang lebih luas, hampir pada semua kejadian mengandung stigma. Saat dosen atau guru memberikan kuliah dan mahasiswa atau siswa hanya diam mendengarkan, maka itulah sebenar-benar stigma. Sang dosen atau guru sedang melempar stigma. Ini adalah hal yang berbahaya. Inilah kondisi yang tidak adil.
Hal yang tidak bisa dihindarkan adalah ketika kita tidak mengharapkan adanya stigma tetapi dengan cara memproduksi stigma. Inilah sebenar-benar kontradiksi dalam hidup. Tidaklah stigma bisa dihilangkan, hanya sekedar diminimalkan, diproduksi secukupnya.  Inilah hikmah yang bisa diambil dari kajian mengenai stigma. Sebagai apapun kita, janganlah terlalu banyak memproduksi stigma.
   Melihat bagaimana orang menanggapi stigma, bisa melihat berbagai macam perilaku. Pertama, doyan stigma. Saat disodori stigma, ia sangat cepat dan bersemangat dalam merespon kemudian menyebarluaskanya atau memproduksi stigma-stigma turunan. Tetapi pada suatu titik, ia menjadi mundur dari perlagaan stigma karena citranya menjadi buruk karena stigma itu sendiri. Kedua, orang yang telah menetapkan prioritas dalam hidup sehingga merasa tidak punya waktu untuk menanggapi stigma tetapi pada suatu titik ia juga ingin atau merasa perlu menangggapinya. Ketiga, orang yang serta merta memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa ketika melihat stigma merebak di lingkungannya.