Sabtu, 01 Desember 2012

Mengintip Orang Belajar Filsafat dari Sumber Primer


Cermin #7

Mengintip Orang Belajar Filsafat dari Sumber Primer



The Critique of Pure Reason, 1871, by Immanuel Kant

Sumber: booksshouldbefree.com


Dalam dunia hakikat terdapat dua prinsip berpikir yaitu identitas dan kontradiksi. Prinsip identitas (analitik) menyatakan bahwa subjek termuat sepenuhnya dalam predikat dan predikat termuat sepenuhnya dalam subjek atau, subjek sama dengan predikat dan predikat sama dengan subjek. Prinsip identitas direpresentasikan dengan notasi S = P dan P = S. Adapun prinsip kontradiksi (sintetik) menyatakan bahwa subjek tidak sama dengan predikat dan predikat tidak sama dengan subjek atau dengan kata lain, P termuat dalam S. Karena P termuat dalam S, maka S tidak seutuhnya sama dengan P, artinya P tidak benar-benar sama dengan S. Prinsip kontradiksi direpresentasikan dengan notasi S ≠ P dan P  ≠  S.
Analitik dan sintetik dalam The Critique of Pure Reason dipandang sebagai cara pengambilan keputusan (judgement).  Pengambilan judgement secara analitik yang didasarkan pada kebenaran koherensi dan konsistensi. Adapun pengambilan keputusan secara sintetik berdasarkan pengalaman (intuisi empiris). Di sisi lain, cara analitik juga melibatkan intuisi yaitu intuisi murni (pure intuition).
Seperti apakah Immanuel Kant  menjelaskan cara analitik dan sintetik? Cara sintetik adalah ketika B termuat di A. Dicontohkan oleh Pak Marsigit, ketika kita mengatakan, ”Saya melihat.” merupakan contoh cara sintetik, karena “melihat” hanya salah satu dari sifat saya. Sifat “melihat” termuat dalam diri saya. Adapun kita mengambil keputusan secara analitik yaitu ketika B terletak secara penuh masuk ke dalam A, dituliskan sebagai B = A. Karena B = A, maka kita juga dapat menyatakan bahwa  A=A. Immanuel Kant menyatakan bahwa tidak ada predikat, kondisi atau sifat yang benar-benar secara penuh masuk ke subjek kecuali yang ada hanya dalam pikiran (idealisasi).
Immanuel Kant mencontohkan kalimat berikut, “Semua benda itu berkembang.” Pada kalimat ini, predikat benar-benar dinyatakan sama dengan subjek. Ini serupa dengan jika kita menyatakan bahwa una=inu. Dua pernyataan tersebut berdasar pada perjanjian atau kesepakatan. Inilah pengambilan keputusan secara analitik.
Sintetik juga dapat dinyatakan sebagai cara pengambilan keputusan tanpa prinsip identitas. Misalnya, pada kalimat “Semua benda mempunyai berat.” di mana kita bisa memaknai “berat” yang berbeda dengan “benda”. Berat hanyalah salah 1 sifat dari benda.
Immanuel Kant juga mentyatakan bahwa semua reason memenuhi prinsip a priori. Bagaimana memperoleh prinsip a priori adalah melalui pengalaman, disebut sintetical judgement. Bukankah kita bisa memperoleh a priori telah memiliki pengalaman juga?
Mathematical judgement seharusnya dilakukan secara sintetik, berbeda dengan mathematics yang kita pikirkan (idealisasi). Sebagai contoh adalah kalimat matematika berikut, 7+5=12, apakah termasuk analitik atau sintetik? Kita memilih sintetik jika kita memandang bahwa 7+5 tidak sama dengan 12. 7+5=12 sebagai kondisi yang bebas dari ruang dan waktu adalah pengambilan keputusan secara analitik sebagaimana yang dilakukan pure mathematician. Pengambilan keputusan secara sintetik adalah terikat dalam ruang dan waktu. Artinya, berbeda makna antara kondisi yang kita pikirkan dengan yang dituliskan. Bahwa 2=2 hanya benar ketika kita pikirkan tetapi ketika kita tulis maka menjadi tidak benar lagi karena ada 2 yang pertama dituliskan dan 2 yang dituliskan kedua. Di sinilah ruang dan waktu telah berperan.  
Logika transenden yang dibuat Immanuel Kant berisi tentang kategori. Bagaimana Kant memperoleh atau memproduksinya? Melalui intuisi. Kategori kuantitas dari universal, particular dan singular. Adapun kategori kualitas terdiri dari affirmative, negative dan infinite. Kategori relasi terdiri categorical, hypothetical dan disjunctive. Adapun modalitas terdiri dari problematical, assertorical dan apodeictical. Apodiktik disebut juga rigorness atau konsistensi. Assertorical berarti catatan dengan maksud bahwa berpikir perlu keterangan, misalnya ketika mengatakan, “Maksud saya begini, ...” Semua kategori berpikir telah tercakup pada kategori yang dibuat Kant ini.
Analitik bermetode deduksi di mana keduanya memiliki chemistry. Deduksi harmoni dengan understanding sehingga sesuai untuk adult learner, tetapi kurang harmoni dengan pengalaman sehingga tidak sesuai untuk membelajarkan young learner. Inilah sebab mendasar mengapa membelajarkan matematika untuk young learner tidak bermakna adil untuk mereka jika ditempuh secara deduktif.
Deduksi yang bersifat empiris disebut sebagai empirical deduction yaitu jenis deduksi selain transedental deduction. Kant menyatakan bahwa deduksi tidak terdapat pada hal empiris. Transedental deduction bisa terjadi tetapi tidak bisa terjadi sebagai empirical deduction. Maka usaha menemukan empirical deduction di pure mathematics adalah sia-sia.
Pada bahasan transedental deduction of categories dinyatakan bahwa pengalaman bersifat naik dan digunakan untuk berpikir. Ada kategori terlebih dahulu sehingga kita bisa membedakan. Pengalaman bersifat manifold: berurutan, berkelanjutan, kesatuan (berkaitan dengan waktu). Intuisi mendahului pikiran. Jika kita mengatakan, “Saya pikir, …” maka kita sedang mencari intuisi. Jika kita ingin memahami hakikat maka dapat ditempuh dengam mengaitkan intuisi dan kesadaran (conciousness), meletakkan kesadaran di depan hakikat.
Apersepsi bersifat sintetik. Kesatuan apersepsi disebut sebagai kesatuan transendental dari kesadaran diri. Kesadaran diri ini penting untuk bisa berpikir a priori. Dengan kata lain, untuk bisa berpikir (a priori) maka kita harus memiliki kesadaran yang bersifat manifold (akumulatif). Apersepsi yang membentuk kesadaran inilah sebagai titik tertimggi dari semua kegiatan berpikir. Maka apersepsi dalam pembelajaran hakikatnya adalah menyiapkan siswa agar bisa berpikir dengan membangun kesadaran berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Dalam Buku II yaitu “Analitic of Principles”, Kant menyatakan bahwa principles juga bersifat analitik, maka kemudian terdapat formal logic atau formal mathematics. Dalam hal ini dikenal istilah transedental faculty of judgement atau kemampuan transendental dari pengambilan keputusan. Tersebutlah doktrin yang semakna dengan konsep, kategori, prinsip, rule yang digunakan oleh pure mathematician dalam membangun mathematics.

Referensi:
Kant, I. 1781. The Critique of Pure Reason. Translated by J. M. D. Meiklejohn. Tersedia di http://www2.hn.psu.edu/faculty/jmanis/kant/Critique-Pure-Reason.pdf. Diakses pada tanggal 1 Desember 2012. 

Jumat, 23 November 2012

Lima Ideologi dalam Pendidikan Matematika



Cermin #6

Sumber gambar: beckbelajar.blogspot.com
 Segala sesuatu memiliki tatakan atau landasan, begitu kata seorang doktor. Pun demikian dengan kurikulum pendidikan yang dilandasi oleh pandangan filosofis tertentu. Paul Ernest, seorang ilmuan, menyatakan dalam peta pendidikan yang dibuatnya, bahwa terdapat lima ideologi dalam pendidikan matematika meliputi industrial trainer (diusung kaum industrialis), technological pragmatist, old humanist, pendidikan progresif dan pendidikan untuk semua (education for all; dalam referensi lain disebut sebagai public educator).



Pertama kaum, kaum industrialis. Menurut pandangan kaum industrialis, semua dikerahkan untuk kepentingan industri termasuk pendidikan. Maka, bagi mereka, seni dalam pendidikan tidak bermanfaat. Pendidikan diarahkan pada hal-hal untuk menjadikan anak didik sebagai tenaga kerja. Pada jenjang pendidikan dasar, misalnya, merupakan pengaruh kaum industrialis jika muatan kurikulumnya hanya berupa membaca, menulis dan berhitung. Dilihat dari sisi kemanusiaan, pandangan kaum industrialis mereduksi banyak kebutuhan anak didik. Intuisi tidak dikembangkan dalam hal ini.

Industrialisasi dapat dengan mudah ditemukan di sekitar kita. Ketika kita membiarkan anak menonton tayangan televisi sepanjang harinya, untuk melewatkan waktu, tanpa pendampingan, di mana sebagian besar tayangan totally bermuatan entertainment saja, maka kita telah melakukan industrialisasi terhadap anak. Mengapa? Karena kebutuhan anak yang lain menjadi tidak terpenuhi. Anak memerlukan bimbingan spiritual untuk menumbuhkan ideologi asasi dalam dirinya. Anak perlu ditumbuhkan jiwa seni, melalui sastra, menyanyi, dan sebagainya. Kata Umar bin Khatab r.a., “Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut menjadi pemberani."  Dalam referensi lain disebutkan, "Ajari anakmu sastra, agar hatinya menjadi lembut!"

Kaum old humanist, bukan humaniora, mengarahkan kuat pandangan yang berpusat pada diri manusia, bukan pada Tuhan. Artinya, aspek spiritual dinihilkan dalam hal ini. Kaum industrialis, konservatif dan old humanis memiliki pandangan yang hampir sama mengenai pendidikan.  Ketiga ideology ini mendefinisikan matematika sebagai body of knowledge. Maka, menurut ketiganya, matematika juga merupakan struktur pengetahuan. Apa yang layak dikritisi dari pandangan ini? Jika kita mengajarkan matematika sebagai struktur pengetahuan saja, maka kita baru menempuh separuh dari matematika. Separuh yang akan melengkapkan adalah intusi. Maka, matematika menjadi utuh ketika dipandang sebagai struktur yang dibangun dalam kerangka intuisi ruang dan waktu. Masih menurut  kaum industrialis, konservatif dan old humanis, ujian adalah eksternal tes, berupa ujian nasional.
       Adapun kaum progresif dan pendidikan untuk semua (education is for all) memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan pandangan tiga ideologi yang telah disebutkan di atas. Bagi mereka, matematika adalah kegiatan, bahkan bagi kaum yang berideologi education is for all, matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Bagi keduanya, evaluasi dulakukan melalui portofolio. Saya beranggapan bahwa portofolio mengandung makna bahwa evaluasi dilakukan dengan memandang proses.
Begitulah, semua berdefinisi dengan masing-masing motif yang melatarbelakanginya. Lima ideologi ini adalah yang pernah dan masih mewarnai kurikulum pendidikan di dunia. Bagaimanapun wujud kurikulum di sebuah negara, dapat ditarik kepada ideologi yang melandasinya. Pun di Indonesia saat ini di mana kurikulum 2013 akan segera diberlakukan. Inilah dunia makro pendidikan. Adapun dunia mikro adalah yang ada dalam pikiran kita masing-masing. Maka kita akan memiliki pandangan tersendiri mengenai pendidikan, matematika menurut dunia makro kita masing-masing. Inilah sebenar-benar kekuatan yang memuat daya ubah dalam dunia pendidikan yang kita tekuni saat ini.
Lalu bagaimanakah kita bersikap terhadap pandangan dalam dunia makro tersebut? Satu hal penting adalah separuh dari matematika yang membuat matematika utuh, yaitu intuisi. Intuisi adalah kerangka pendidikan. Intuisi adalah 80 % hidup kita. Hilangnya intuisi berarti juga terancamnya keberadaan kehidupan. Maka penting bagi kita untuk selalu menumbuhkan intuisi dalam diri kita dan juga dalam diri anak didik kita. Maka, tanggung jawab kita adalah mengelola pendidikan yang mampu menumbuhkan intuisi anak didik.

Minggu, 18 November 2012

Stigma

Cermin #5

Stigma




Saya sangat tertarik pada kajian mengenai stigma. Mengapa? Stigma adalah hal khusus yang hanya bisa dihadapi dengan cara khusus. Stigma bukanlah selayaknya suatu komunitas yang dapat dikontrol melalui pemimpin atau tokohnya. Menghadapi stigma adalah suatu permainan, maka mainkanlah. Menghadapi stigma adalah strategi, maka buatlah strategi itu.
Stigma bermula dari isu, gossip dan fitnah. Maka berhati-hatilah dengan tiga hal itu. Stigma dapat dengan mudah tersebar, meluas, merebak, mempengaruhi persepsi. Stigma juga ditentukan oleh kuasa yang dimiliki subjek. Semakin luas kuasanya, ia semakin mampu memproduksi stigma yang pengaruhnya juga berbanding lurus dengan keluasan kuasanya. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah mampu mempengaruhi guru saat memberikan pengarahan mengenai RPP. Namun ketika pengawas datang dan juga memberikan pengarahan mengenai RPP, kepala sekolah dan guru akan tunduk terhadap pengarahan sang pengawas. Ketika yang datang adalah reviewer, maka kemudian pengawas, kepala sekolah dan guru tunduk pada pengarahan reviewer tersebut. Demikianlah stigma yang diproduksi oleh banyak subjek yang berbeda kuasanya.
Stigma adalah keadaan buruk yang menimpa masyarakat, menimpa banyak orang sehingga kita tidak ingin mengingatnya. Bangsa kita pernah mengalami stigma, maka kita menjadi tidak ingin mengingat stigma itu. Stigma diperlukan oleh masing-masing subjek untuk memperlancar tugas-tugasnya. Stigma merujuk pada kondisi dengan muatan tertentu, muatan yang penuh kepentingan. Pada pemahaman yang lebih luas, hampir pada semua kejadian mengandung stigma. Saat dosen atau guru memberikan kuliah dan mahasiswa atau siswa hanya diam mendengarkan, maka itulah sebenar-benar stigma. Sang dosen atau guru sedang melempar stigma. Ini adalah hal yang berbahaya. Inilah kondisi yang tidak adil.
Hal yang tidak bisa dihindarkan adalah ketika kita tidak mengharapkan adanya stigma tetapi dengan cara memproduksi stigma. Inilah sebenar-benar kontradiksi dalam hidup. Tidaklah stigma bisa dihilangkan, hanya sekedar diminimalkan, diproduksi secukupnya.  Inilah hikmah yang bisa diambil dari kajian mengenai stigma. Sebagai apapun kita, janganlah terlalu banyak memproduksi stigma.
   Melihat bagaimana orang menanggapi stigma, bisa melihat berbagai macam perilaku. Pertama, doyan stigma. Saat disodori stigma, ia sangat cepat dan bersemangat dalam merespon kemudian menyebarluaskanya atau memproduksi stigma-stigma turunan. Tetapi pada suatu titik, ia menjadi mundur dari perlagaan stigma karena citranya menjadi buruk karena stigma itu sendiri. Kedua, orang yang telah menetapkan prioritas dalam hidup sehingga merasa tidak punya waktu untuk menanggapi stigma tetapi pada suatu titik ia juga ingin atau merasa perlu menangggapinya. Ketiga, orang yang serta merta memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa ketika melihat stigma merebak di lingkungannya.    

Sabtu, 29 September 2012

Cermin #4
SUNGAI-SUNGAI FILSAFAT; DI MANA HASIL OLAH PIKIR PARA FILSUF MENGALIR HINGGA KINI

 Bermula dari sebuah gambaran landscape: gunung, sungai, pantai, samudera. Gunung adalah filsafat itu sendiri. Di bawah gunung terbentanglah penampakan alam filsafat. Adalah sungai yang membawa hasil olah pikir para filsuf. Sungai-sungai itu masing-masing berbeda usia; ada sungai yang sangat tua, telah mengalirkan air sejak zaman Yunani kuno; ada yang mengalir pada zaman pertengahan dan ada yang baru-baru saja mengalir. Selain gunung dan sungai, landscape ini juga memuat pantai. Pantai-pantai tesebut memuat banyak logos, lihat saja namanya: Biologi, Psikologi, Antropologi, Sosiologi, Matematika, Kimia, Fisika, Akuntansi, Ekonomi, Manajemen, dan masih banyak lagi. Adapun pendidikan adalah samudera, muara dari seluruh aliran sungai, memiliki pantai-pantai yang indah dan terhampar di depan gunung. Landscape ini kunamai landscape filsafat.
Sungai menjadi hal dominan dalam landscape filsafat. Dia dominan karena jumlah dan pengaruhnya. Dalam bahasa orang tua berambut putih, maka sungai dikatakan dominan karena memiliki kuasa jumlah dan pengaruh terhadap hal-hal lain. Karena jumlah? Berapa banyaknya sungai yang ada? Tak terhitung. Akan tetapi dari sekian banyaknya itu, ada sungai-sungai besar yang sangat deras mengalirkan air. Sebut saja, Kantianism dan Platonism. Baiklah, mari berkenalan lebih dekat dengan sungai-sungai itu.
Sungai tertua mengalir sejak 600 tahun sebelum Masehi. Sungai-sungai itu disebut juga Grup Filsafat Yunani Kuno yang para pengalirnya terkenal dengan sebutan filsuf pra-Socrates, filsuf pertama atau filsuf alam. Tersebutlah nama Thales, Anaximenes, Anaximandros (Anaximander), Heraklitos, Pythagoras, Permenedes, Xenophanes, Zeno, Empedocles, Anaxagoras dan Democritos. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap sebagai asal dari segala sesuatu. Menurut Thales, arche itu air;  menurut Anaximandros, “yang tak terbatas” (apeiron) itulah yang menjadi arche; menurut Pythagoras, arche adaalah bilangan; menurut Anaximenes, arche adalah udara; menurut Heraklitos, arche adalah api. Xenophanes berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang memelihara alam semesta. Heraklitos juga menyatakan bahwa segala sesuatu itu terus mengalir (panta rhei), sedangkan menurut Parmenedes, segala sesuatu itu tetap, tidak bergerak. Pendapat Heraklitos didukung oleh Zeno, salah satu muridnya. Adapun tiga pengalir yang lain yaitu Empedocles, Anaxagoras dan Democritos berusaha mengurai apakah segala sesuatu itu tetap atau terus mengalir.
Setelah mengalirnya sungai tertua, lahirlah pula sungai Grup Zaman Keemasan. Ada 3 sungai besar di sini yang dialirkan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Kita mengenal mereka sebagai ilmuan yang pendapatnya menjadi pijakan para ilmuan di generasi berikutnya, bukan? Pengalir yang bertama bernama Socrates. Menurutnya, yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai objektif yang dijunjung tinggi semua orang. Pendapat ini didukung oleh muridnya yaitu Plato yang mengatakan bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dunia yang hanya terbuka bagi panca indra dan dunia yang hanya terbuka pada rasio kita, dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua adalah ide. Adapun Aristoteles, yang juga adalah murid Plato sekaligus Aristoteles, mengkritik pendapat Plato dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret. Menurutnya, “ide manusia” tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles juga menyumbangkan pemikiran mengenai abstraksi yaitu aktivitas rasional di mana seseorang memperoleh pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ada tiga macam abstraksi yaitu abstraksi fisis, matematis dan metafisis. Abstraksi fisis adalah yang abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas. Abstraksi matematis adalah abstraksi di mana subjek menangkap unsur kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif. Adapun abstraksi metafisis adalah abstraksi di mana seseorang menangkap unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-unsur lain. Aristoteles juga mengemukakan teori yang cukup terkenal yaitu “hylemorfisme”, yaitu bahwa materi adalah prinsip yang tidak ditentukan sedangkan bentuk adalah prinsip yang menentukan.      
 Selanjutnya ada sungai-sungai yang mengalir sejak masa Helinistis dan Romawi. Ada beberapa sungai, di antaranya (1) Stoisisme, beranggapan bahwa jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut “logos”, oleh karena itu segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari, (2) Epikurisme, beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak; manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa, (3) Skeptisisme, beranggapan bahwa bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran (sikap umum dari skeptisisme adalah kesangsian), (4) Eklektisime, yaitu suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur, filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh, (5) Neo Platonisme, yaitu paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato di mana seluruh filsafatnya berkisar pada Allah sebagai “yang satu”, segala sesuatu berasal dari “yang satu” dan ingin kembali kepadanya; tokoh paham ini adalah Plotinus.
Sungai berikutnya adalah sungai-sungai Grup Zaman Abad Pertengahan. Berbeda dengan corak sungai Grup Filsafat Yunani Kuno yang beranggapan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal, sungai-sungai ini diwarnai dengan wahyu, bahwa kebenaran sejati berasal dari wahyu Tuhan.     
Sungai Grup Zaman Modern memfokuskan perhatian terhadap manusia, bukan lagi terhadap kosmos sebagaimana pada Sungai Grup Filsafat Zaman Kuno dan bukan lagi terhadap Tuhan sebagaimana pada Sungai Grup Zaman Pertengahan. Manusia dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan. Sungai ini mengalir sejak tokoh-tokoh rasionalisme yang menekankan pentingnya rasio atau akal budi manusia seperti Rene Descartes, B. Spinoza dan G. Libniz. Rene Descartes menyatakan bahwa cogito ergo sum yang berarti bahwa aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Ia juga menegaskan dualisme dalam diri manusia yang terdiri dari dua substansi yaitu res cogitans (jiwa bernalar) dan res extensa (jasmani yang meluas).
Sungai Grup Zaman Modern  juga memuat aliran empirisme yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Tokoh-tokoh empirisme di antaranya adalah John Locke, George Berkeley, David Hume, J.J. Rousseau, Immanuel Kant. Melalui pemikirannya, Immanuel Kant “membatasi pikiran manusia” dan “apa yang diketahui manusia”. Ia menyatakan bahwa apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Selainnya adalah ilusi, adalah ide. Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah aturan umum yang diistilahkan dengan “imperatif kategoris”. Kant juga menyatakan bahwa mengetahui dunia secara utuh (knowing the world as a whole), Tuhan (God), kebebasan (freedom), dan keabadian jiwa (­immortality) tidak bisa diketahui dan termasuk wilayah transenden serta bersifat noumenal. Di sungai Grup Zaman Modern ini juga terdapat aliran idealisme dengan pengalirnya yaitu J. Fichte, F. Schelling dan G.W. Hegel.  
Sungai yang dekat dengan periode saat ini adalah sungai Grup Masa Kini. Terdapat beberapa aliran di sungai. Pertama, positivism yang diprakarsai oleh Auguste Comte yang menyatakan bahwa pemikiran setiap manusia, pemikiran setiap ilmu dan pemikiran suku bangsa manusia pada umumnya melewati tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisis dan “positif-ilmiah”. Manusia pada tahap teologis percaya bahwa terdapat kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi berada pada tingkatan lebih tinggi dari makhluk insani biasa. Tahap teologis terdiri atas tiga periode yaitu (1) periode primitif di mana benda-benda dianggap berjiwa (animisme), (2) periode ketika manusia percaya pada dewa-dewa yang menguasai aspek-aspek tertentu seperti dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar (politheisme), (3) periode ketika manusia memandang satu, Allah sebagai penguasa segala sesuatu (monotheisme). Adapun pada tahap metafisis, konsep dan prinsip-prinsip abstrak diyakini sebagai yang mengatur gejala-gejala. Pada tahap terakhir dari aliran positivisme yaitu tahap “positif-ilmiah”, manusia menemukan ilmu pengetahuan dalam arti sebenarnya. Pada tahap ini manusia tidak lagi mencari penyebab di belakang fakta-fakta. Manusia membatasi diri pada fakta yang disajikan kepadanya. Manusia mencari relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat di antara fakta-fakta melalui observasi dengan menggunakan rasio.                  
Aliran kedua di sungai Grup Masa Kini adalah marxisme yang dipelopori oleh Karl Max melalui ajaran materialisme dialektis dan materialisme historis. Pada materialisme dialektis diyakini bahwa kenyataan akhirnya hanya terdiri dari materi yang berkembang melalui proses dialektis (tesa-antitesa-sintesa). Perubahan dalam kuantitas mengakibatkan  perubahan dalam kualitas. Artinya, suatu kejadian pada taraf kuantitatif dapat menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan cara ini kehidupan berasal dari materi mati dan kesadaran manusiawi berasal dari kehidupan organis. Pada materialisme historis diyakini bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan atau diderteminir oleh perkembangan sarana produksi materiil. Manusia sunggguhpun mengadakan sejarahnya, tetapi tidak bebas dalam mengadakan sejarahnya.
Aliran ketiga di sungai Grup Masa Kini adalah eksistensialisme yang diprakarsai oleh S. Kierkegaard dan F. Nietsche dan diteruskan oleh K. Jaspers, M. Heidegger, J.P. Sartre, G. Marcel dan Merleau Ponty. Aliran ini merupakan filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Dalam filsafat, eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Eksistensi manusia berbeda berbeda dengan benda. Dalam paham ini, benda dikatakan “berada”, di mana benda tidak sadar akan keberadaannya, yang satu berada di samping yang lain tanpa hubungan.  Adapun manusia dikatakan “bereksistensi”, berada bersama benda-benda itu, benda-benda menjadi berarti karena manusia. Manusia juga bereksistensi bersama-sama dengan sesama manusia.  Ciri-ciri paham ini antara lain, (1) memiliki motif pokok berupa eksistensi yaitu cara manusia berada, (2) bereksistensi harus diartikan secara dinamis; bereksistensi berarti menciptakan diriya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan; setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya, (3) manusia dipandang secara terbuka, sebagai realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk; manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesama manusia, (4) member tekanan kepada pengalaman yang konkret dan eksistensial (Heidegger member tekanan pada kematian yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan).
Aliran selanjutnya adalah fenomenologi yang diprakarsai E. Husserl dan dikembangkan oleh M. Scheler dan M. Merleau Ponty. Aliran ini menyatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kata fenomenologi berasal dari kata fenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, terihat karena bercahaya. Jadi, fenomenologi membicarakan fenomena atau gejala yang menampakkan diri. Menurut para filsuf, fenomenon tidak perlu harus diikuti dengan indra, karena dapat diikuti secara rohani tanpa melewati indra. Fenomenon adalah apa yang menampakkan diri pada dirinya sendiri.
Aliran yang juga mewarnai sungai Grup Masa Kini adalah pragmatisme dengan tokos-tokoh seperti W. James, J. Dewey. Pragmatisme menyatakan bahwa ide-ide tidak “benar” atau “salah” tetapi bahwa ide-ide dijadikan benar oleh suatu tindakan tertentu. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu yang membawa akibat praktis. Pengalaman pribadi bahkan kebenaran mistis dipandang berlaku jika membawa akibat praktis yang bermanfaat. Oleh karena itu, pragmatisme juga menyatakan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibatnya-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Aliran selanjutnya adalah Neo-Kantianisme dan Neo-tomisme. Neo-Kantianisme menganggap filsafat sebagai epistemologi dan kritik ilmu pengetahuan.  Para pengalirnya adalah E. Cassirer, H. Rickert, H. Vaihinger.  Adapun neo-tomisme berlandaskan pada doktrin filosofis dan teologis didasarkan pada pemikiran Thomas Aquinas (tomisme).       
Demikianlah (hanya) sebagian sungai-sungai yang telah mengalir di landscape filsafat dengan berbagai corak alirannya. Melalui telaah ini, saya baru sadar bahwa pengaruh filsafat ternyata luar biasa untuk kehidupan. Ternyata, ilmu-ilmu ilmiah yang selama ini saya pelajari awalnya dipelajari orang karena mereka berpikir, karena mereka tidak mau menerima begitu saja apa yang diceritakan oleh nenek moyang secara turun menurun. Mungkin, saat ini orang menjadi “gamang” saat belajar filsafat karena semua ilmu seakan-akan telah menjadi jelas bagi mereka. Ya, kita hidup di zaman modern, beribu-ribu tahun setelah zamannya para filsuf besar itu. Telah banyak penelitian, kajian yang membuktikan dan menguatkan ilmu-ilmu yang sekarang dapat dengan mudah kita pelajari dari buku, jurnal, surat kabar, internet dan sumber lain. 

Referensi:
Maksum, Ali. 2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz          Media
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara