Cermin #4
SUNGAI-SUNGAI FILSAFAT; DI MANA
HASIL OLAH PIKIR PARA FILSUF MENGALIR HINGGA KINI
Bermula dari
sebuah gambaran landscape: gunung,
sungai, pantai, samudera. Gunung adalah filsafat itu sendiri. Di bawah gunung
terbentanglah penampakan alam filsafat. Adalah sungai yang membawa hasil olah
pikir para filsuf. Sungai-sungai itu masing-masing berbeda usia; ada sungai
yang sangat tua, telah mengalirkan air sejak zaman Yunani kuno; ada yang
mengalir pada zaman pertengahan dan ada yang baru-baru saja mengalir. Selain
gunung dan sungai, landscape ini juga
memuat pantai. Pantai-pantai tesebut memuat banyak logos, lihat saja namanya: Biologi,
Psikologi, Antropologi, Sosiologi, Matematika, Kimia, Fisika, Akuntansi,
Ekonomi, Manajemen, dan masih banyak lagi. Adapun pendidikan adalah samudera,
muara dari seluruh aliran sungai, memiliki pantai-pantai yang indah dan
terhampar di depan gunung. Landscape ini
kunamai landscape filsafat.
Sungai menjadi
hal dominan dalam landscape filsafat.
Dia dominan karena jumlah dan pengaruhnya. Dalam bahasa orang tua berambut
putih, maka sungai dikatakan dominan karena memiliki kuasa jumlah dan pengaruh
terhadap hal-hal lain. Karena jumlah? Berapa banyaknya sungai yang ada? Tak
terhitung. Akan tetapi dari sekian banyaknya itu, ada sungai-sungai besar yang sangat
deras mengalirkan air. Sebut saja, Kantianism
dan Platonism. Baiklah, mari
berkenalan lebih dekat dengan sungai-sungai itu.
Sungai tertua
mengalir sejak 600 tahun sebelum Masehi. Sungai-sungai itu disebut juga Grup Filsafat
Yunani Kuno yang para pengalirnya terkenal dengan sebutan filsuf pra-Socrates, filsuf
pertama atau filsuf alam. Tersebutlah
nama Thales, Anaximenes, Anaximandros (Anaximander), Heraklitos, Pythagoras, Permenedes,
Xenophanes, Zeno, Empedocles, Anaxagoras dan Democritos. Mereka mencari unsur
induk (arche) yang dianggap sebagai
asal dari segala sesuatu. Menurut Thales, arche
itu air; menurut Anaximandros, “yang tak
terbatas” (apeiron) itulah yang
menjadi arche; menurut Pythagoras, arche adaalah bilangan; menurut
Anaximenes, arche adalah udara;
menurut Heraklitos, arche adalah api.
Xenophanes berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang memelihara alam semesta. Heraklitos juga
menyatakan bahwa segala sesuatu itu terus mengalir (panta rhei), sedangkan menurut Parmenedes, segala sesuatu itu
tetap, tidak bergerak. Pendapat Heraklitos didukung oleh Zeno, salah satu muridnya.
Adapun tiga pengalir yang lain yaitu Empedocles, Anaxagoras dan Democritos
berusaha mengurai apakah segala sesuatu itu tetap atau terus mengalir.
Setelah
mengalirnya sungai tertua, lahirlah pula sungai Grup Zaman Keemasan. Ada 3
sungai besar di sini yang dialirkan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Kita
mengenal mereka sebagai ilmuan yang pendapatnya menjadi pijakan para ilmuan di
generasi berikutnya, bukan? Pengalir yang bertama bernama Socrates. Menurutnya,
yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai objektif yang
dijunjung tinggi semua orang. Pendapat ini didukung oleh muridnya yaitu Plato
yang mengatakan bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dunia yang hanya terbuka
bagi panca indra dan dunia yang hanya terbuka pada rasio kita, dunia yang
pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua adalah ide. Adapun Aristoteles,
yang juga adalah murid Plato sekaligus Aristoteles, mengkritik pendapat Plato
dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret.
Menurutnya, “ide manusia” tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles juga
menyumbangkan pemikiran mengenai abstraksi yaitu aktivitas rasional di mana
seseorang memperoleh pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ada tiga macam abstraksi
yaitu abstraksi fisis, matematis dan metafisis. Abstraksi fisis adalah yang
abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan membuang unsur-unsur
individual untuk mencapai kualitas. Abstraksi matematis adalah abstraksi di
mana subjek menangkap unsur kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif.
Adapun abstraksi metafisis adalah abstraksi di mana seseorang menangkap unsur-unsur
yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-unsur lain. Aristoteles juga
mengemukakan teori yang cukup terkenal yaitu “hylemorfisme”, yaitu bahwa materi
adalah prinsip yang tidak ditentukan sedangkan bentuk adalah prinsip yang
menentukan.
Selanjutnya ada sungai-sungai yang mengalir
sejak masa Helinistis dan Romawi. Ada beberapa sungai, di antaranya (1) Stoisisme, beranggapan bahwa jagat raya
ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut “logos”, oleh karena itu segala
kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari, (2) Epikurisme, beranggapan bahwa segala
sesuatu terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak; manusia akan bahagia
jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa, (3) Skeptisisme, beranggapan bahwa bidang
teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran (sikap umum dari skeptisisme
adalah kesangsian), (4) Eklektisime,
yaitu suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur, filsafat dari
aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh,
(5) Neo Platonisme, yaitu paham yang
ingin menghidupkan kembali filsafat Plato di mana seluruh filsafatnya berkisar
pada Allah sebagai “yang satu”, segala sesuatu berasal dari “yang satu” dan
ingin kembali kepadanya; tokoh paham ini adalah Plotinus.
Sungai
berikutnya adalah sungai-sungai Grup Zaman Abad Pertengahan. Berbeda dengan
corak sungai Grup Filsafat Yunani Kuno yang beranggapan bahwa kebenaran dapat
dicapai oleh kemampuan akal, sungai-sungai ini diwarnai dengan wahyu, bahwa kebenaran
sejati berasal dari wahyu Tuhan.
Sungai Grup
Zaman Modern memfokuskan perhatian terhadap manusia, bukan lagi terhadap kosmos
sebagaimana pada Sungai Grup Filsafat Zaman Kuno dan bukan lagi terhadap Tuhan
sebagaimana pada Sungai Grup Zaman Pertengahan. Manusia dianggap sebagai titik
fokus dari kenyataan. Sungai ini mengalir sejak tokoh-tokoh rasionalisme yang menekankan pentingnya
rasio atau akal budi manusia seperti Rene Descartes, B. Spinoza dan G. Libniz. Rene
Descartes menyatakan bahwa cogito ergo sum
yang berarti bahwa aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Ia juga
menegaskan dualisme dalam diri manusia yang terdiri dari dua substansi yaitu res cogitans (jiwa bernalar) dan res extensa (jasmani yang meluas).
Sungai Grup
Zaman Modern juga memuat aliran empirisme yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia
saja. Tokoh-tokoh empirisme di antaranya adalah John Locke, George Berkeley,
David Hume, J.J. Rousseau, Immanuel Kant. Melalui pemikirannya, Immanuel Kant “membatasi
pikiran manusia” dan “apa yang diketahui manusia”. Ia menyatakan bahwa apa-apa
yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra.
Selainnya adalah ilusi, adalah ide. Semua yang harus dilakukan manusia harus
bisa diangkat menjadi sebuah aturan umum yang diistilahkan dengan “imperatif kategoris”. Kant juga
menyatakan bahwa mengetahui dunia secara utuh (knowing the world as a whole), Tuhan (God), kebebasan (freedom), dan keabadian jiwa (immortality) tidak bisa diketahui dan
termasuk wilayah transenden serta bersifat noumenal. Di sungai Grup Zaman
Modern ini juga terdapat aliran idealisme
dengan pengalirnya yaitu J. Fichte, F. Schelling dan G.W. Hegel.
Sungai yang
dekat dengan periode saat ini adalah sungai Grup Masa Kini. Terdapat beberapa aliran
di sungai. Pertama, positivism yang
diprakarsai oleh Auguste Comte yang menyatakan bahwa pemikiran setiap manusia,
pemikiran setiap ilmu dan pemikiran suku bangsa manusia pada umumnya melewati
tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisis dan “positif-ilmiah”. Manusia pada
tahap teologis percaya bahwa terdapat kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan
gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang
memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi berada pada tingkatan lebih
tinggi dari makhluk insani biasa. Tahap teologis terdiri atas tiga periode
yaitu (1) periode primitif di mana benda-benda dianggap berjiwa (animisme), (2)
periode ketika manusia percaya pada dewa-dewa yang menguasai aspek-aspek
tertentu seperti dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar (politheisme), (3) periode
ketika manusia memandang satu, Allah sebagai penguasa segala sesuatu (monotheisme).
Adapun pada tahap metafisis, konsep dan prinsip-prinsip abstrak diyakini
sebagai yang mengatur gejala-gejala. Pada tahap terakhir dari aliran positivisme
yaitu tahap “positif-ilmiah”, manusia menemukan ilmu pengetahuan dalam arti
sebenarnya. Pada tahap ini manusia tidak lagi mencari penyebab di belakang
fakta-fakta. Manusia membatasi diri pada fakta yang disajikan kepadanya. Manusia
mencari relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat di antara fakta-fakta
melalui observasi dengan menggunakan rasio.
Aliran kedua di
sungai Grup Masa Kini adalah marxisme
yang dipelopori oleh Karl Max melalui ajaran materialisme dialektis dan materialisme
historis. Pada materialisme dialektis diyakini bahwa kenyataan akhirnya hanya terdiri
dari materi yang berkembang melalui proses dialektis (tesa-antitesa-sintesa).
Perubahan dalam kuantitas mengakibatkan
perubahan dalam kualitas. Artinya, suatu kejadian pada taraf kuantitatif
dapat menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan cara ini kehidupan berasal dari
materi mati dan kesadaran manusiawi berasal dari kehidupan organis. Pada materialisme
historis diyakini bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan atau
diderteminir oleh perkembangan sarana produksi materiil. Manusia sunggguhpun mengadakan
sejarahnya, tetapi tidak bebas dalam mengadakan sejarahnya.
Aliran ketiga di
sungai Grup Masa Kini adalah eksistensialisme
yang diprakarsai oleh S. Kierkegaard dan F. Nietsche dan diteruskan oleh K.
Jaspers, M. Heidegger, J.P. Sartre, G. Marcel dan Merleau Ponty. Aliran ini
merupakan filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi. Dalam filsafat, eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia.
Eksistensi manusia berbeda berbeda dengan benda. Dalam paham ini, benda
dikatakan “berada”, di mana benda tidak sadar akan keberadaannya, yang satu
berada di samping yang lain tanpa hubungan.
Adapun manusia dikatakan “bereksistensi”, berada bersama benda-benda
itu, benda-benda menjadi berarti karena manusia. Manusia juga bereksistensi
bersama-sama dengan sesama manusia. Ciri-ciri
paham ini antara lain, (1) memiliki motif pokok berupa eksistensi yaitu cara
manusia berada, (2) bereksistensi harus diartikan secara dinamis; bereksistensi
berarti menciptakan diriya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat,
menjadi, merencanakan; setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari
keadaannya, (3) manusia dipandang secara terbuka, sebagai realitas yang belum
selesai, yang masih harus dibentuk; manusia terikat pada dunia sekitarnya,
terlebih kepada sesama manusia, (4) member tekanan kepada pengalaman yang konkret
dan eksistensial (Heidegger member tekanan pada kematian yang menyuramkan
segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada
pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan
dan kesalahan).
Aliran
selanjutnya adalah fenomenologi yang
diprakarsai E. Husserl dan dikembangkan oleh M. Scheler dan M. Merleau Ponty.
Aliran ini menyatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan
menggunakan intuisi. Kata fenomenologi berasal dari kata fenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, terihat karena bercahaya. Jadi, fenomenologi membicarakan fenomena
atau gejala yang menampakkan diri. Menurut para filsuf, fenomenon tidak perlu
harus diikuti dengan indra, karena dapat diikuti secara rohani tanpa melewati
indra. Fenomenon adalah apa yang menampakkan diri pada dirinya sendiri.
Aliran yang juga
mewarnai sungai Grup Masa Kini adalah pragmatisme
dengan tokos-tokoh seperti W. James, J. Dewey. Pragmatisme menyatakan bahwa
ide-ide tidak “benar” atau “salah” tetapi bahwa ide-ide dijadikan benar oleh
suatu tindakan tertentu. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran
ini bersedia menerima segala sesuatu yang membawa akibat praktis. Pengalaman
pribadi bahkan kebenaran mistis dipandang berlaku jika membawa akibat praktis
yang bermanfaat. Oleh karena itu, pragmatisme juga menyatakan bahwa yang benar
ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibatnya-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Aliran
selanjutnya adalah Neo-Kantianisme
dan Neo-tomisme. Neo-Kantianisme
menganggap filsafat sebagai epistemologi dan kritik ilmu pengetahuan. Para pengalirnya adalah E. Cassirer, H.
Rickert, H. Vaihinger. Adapun neo-tomisme
berlandaskan pada doktrin filosofis dan teologis didasarkan pada pemikiran
Thomas Aquinas (tomisme).
Demikianlah (hanya)
sebagian sungai-sungai yang telah mengalir di landscape filsafat dengan berbagai corak alirannya. Melalui telaah ini,
saya baru sadar bahwa pengaruh filsafat ternyata luar biasa untuk kehidupan.
Ternyata, ilmu-ilmu ilmiah yang selama ini saya pelajari awalnya dipelajari
orang karena mereka berpikir, karena mereka tidak mau menerima begitu saja apa
yang diceritakan oleh nenek moyang secara turun menurun. Mungkin, saat ini
orang menjadi “gamang” saat belajar filsafat karena semua ilmu seakan-akan
telah menjadi jelas bagi mereka. Ya, kita hidup di zaman modern, beribu-ribu
tahun setelah zamannya para filsuf besar itu. Telah banyak penelitian, kajian
yang membuktikan dan menguatkan ilmu-ilmu yang sekarang dapat dengan mudah kita
pelajari dari buku, jurnal, surat kabar, internet dan sumber lain.
Referensi:
Maksum, Ali.
2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa
Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Surajiyo.
2007. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta:
PT. Bumi Aksara