Sabtu, 29 September 2012

Cermin #4
SUNGAI-SUNGAI FILSAFAT; DI MANA HASIL OLAH PIKIR PARA FILSUF MENGALIR HINGGA KINI

 Bermula dari sebuah gambaran landscape: gunung, sungai, pantai, samudera. Gunung adalah filsafat itu sendiri. Di bawah gunung terbentanglah penampakan alam filsafat. Adalah sungai yang membawa hasil olah pikir para filsuf. Sungai-sungai itu masing-masing berbeda usia; ada sungai yang sangat tua, telah mengalirkan air sejak zaman Yunani kuno; ada yang mengalir pada zaman pertengahan dan ada yang baru-baru saja mengalir. Selain gunung dan sungai, landscape ini juga memuat pantai. Pantai-pantai tesebut memuat banyak logos, lihat saja namanya: Biologi, Psikologi, Antropologi, Sosiologi, Matematika, Kimia, Fisika, Akuntansi, Ekonomi, Manajemen, dan masih banyak lagi. Adapun pendidikan adalah samudera, muara dari seluruh aliran sungai, memiliki pantai-pantai yang indah dan terhampar di depan gunung. Landscape ini kunamai landscape filsafat.
Sungai menjadi hal dominan dalam landscape filsafat. Dia dominan karena jumlah dan pengaruhnya. Dalam bahasa orang tua berambut putih, maka sungai dikatakan dominan karena memiliki kuasa jumlah dan pengaruh terhadap hal-hal lain. Karena jumlah? Berapa banyaknya sungai yang ada? Tak terhitung. Akan tetapi dari sekian banyaknya itu, ada sungai-sungai besar yang sangat deras mengalirkan air. Sebut saja, Kantianism dan Platonism. Baiklah, mari berkenalan lebih dekat dengan sungai-sungai itu.
Sungai tertua mengalir sejak 600 tahun sebelum Masehi. Sungai-sungai itu disebut juga Grup Filsafat Yunani Kuno yang para pengalirnya terkenal dengan sebutan filsuf pra-Socrates, filsuf pertama atau filsuf alam. Tersebutlah nama Thales, Anaximenes, Anaximandros (Anaximander), Heraklitos, Pythagoras, Permenedes, Xenophanes, Zeno, Empedocles, Anaxagoras dan Democritos. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap sebagai asal dari segala sesuatu. Menurut Thales, arche itu air;  menurut Anaximandros, “yang tak terbatas” (apeiron) itulah yang menjadi arche; menurut Pythagoras, arche adaalah bilangan; menurut Anaximenes, arche adalah udara; menurut Heraklitos, arche adalah api. Xenophanes berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang memelihara alam semesta. Heraklitos juga menyatakan bahwa segala sesuatu itu terus mengalir (panta rhei), sedangkan menurut Parmenedes, segala sesuatu itu tetap, tidak bergerak. Pendapat Heraklitos didukung oleh Zeno, salah satu muridnya. Adapun tiga pengalir yang lain yaitu Empedocles, Anaxagoras dan Democritos berusaha mengurai apakah segala sesuatu itu tetap atau terus mengalir.
Setelah mengalirnya sungai tertua, lahirlah pula sungai Grup Zaman Keemasan. Ada 3 sungai besar di sini yang dialirkan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Kita mengenal mereka sebagai ilmuan yang pendapatnya menjadi pijakan para ilmuan di generasi berikutnya, bukan? Pengalir yang bertama bernama Socrates. Menurutnya, yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai objektif yang dijunjung tinggi semua orang. Pendapat ini didukung oleh muridnya yaitu Plato yang mengatakan bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dunia yang hanya terbuka bagi panca indra dan dunia yang hanya terbuka pada rasio kita, dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua adalah ide. Adapun Aristoteles, yang juga adalah murid Plato sekaligus Aristoteles, mengkritik pendapat Plato dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret. Menurutnya, “ide manusia” tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles juga menyumbangkan pemikiran mengenai abstraksi yaitu aktivitas rasional di mana seseorang memperoleh pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ada tiga macam abstraksi yaitu abstraksi fisis, matematis dan metafisis. Abstraksi fisis adalah yang abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas. Abstraksi matematis adalah abstraksi di mana subjek menangkap unsur kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif. Adapun abstraksi metafisis adalah abstraksi di mana seseorang menangkap unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-unsur lain. Aristoteles juga mengemukakan teori yang cukup terkenal yaitu “hylemorfisme”, yaitu bahwa materi adalah prinsip yang tidak ditentukan sedangkan bentuk adalah prinsip yang menentukan.      
 Selanjutnya ada sungai-sungai yang mengalir sejak masa Helinistis dan Romawi. Ada beberapa sungai, di antaranya (1) Stoisisme, beranggapan bahwa jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut “logos”, oleh karena itu segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari, (2) Epikurisme, beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak; manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa, (3) Skeptisisme, beranggapan bahwa bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran (sikap umum dari skeptisisme adalah kesangsian), (4) Eklektisime, yaitu suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur, filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh, (5) Neo Platonisme, yaitu paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato di mana seluruh filsafatnya berkisar pada Allah sebagai “yang satu”, segala sesuatu berasal dari “yang satu” dan ingin kembali kepadanya; tokoh paham ini adalah Plotinus.
Sungai berikutnya adalah sungai-sungai Grup Zaman Abad Pertengahan. Berbeda dengan corak sungai Grup Filsafat Yunani Kuno yang beranggapan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal, sungai-sungai ini diwarnai dengan wahyu, bahwa kebenaran sejati berasal dari wahyu Tuhan.     
Sungai Grup Zaman Modern memfokuskan perhatian terhadap manusia, bukan lagi terhadap kosmos sebagaimana pada Sungai Grup Filsafat Zaman Kuno dan bukan lagi terhadap Tuhan sebagaimana pada Sungai Grup Zaman Pertengahan. Manusia dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan. Sungai ini mengalir sejak tokoh-tokoh rasionalisme yang menekankan pentingnya rasio atau akal budi manusia seperti Rene Descartes, B. Spinoza dan G. Libniz. Rene Descartes menyatakan bahwa cogito ergo sum yang berarti bahwa aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Ia juga menegaskan dualisme dalam diri manusia yang terdiri dari dua substansi yaitu res cogitans (jiwa bernalar) dan res extensa (jasmani yang meluas).
Sungai Grup Zaman Modern  juga memuat aliran empirisme yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Tokoh-tokoh empirisme di antaranya adalah John Locke, George Berkeley, David Hume, J.J. Rousseau, Immanuel Kant. Melalui pemikirannya, Immanuel Kant “membatasi pikiran manusia” dan “apa yang diketahui manusia”. Ia menyatakan bahwa apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Selainnya adalah ilusi, adalah ide. Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah aturan umum yang diistilahkan dengan “imperatif kategoris”. Kant juga menyatakan bahwa mengetahui dunia secara utuh (knowing the world as a whole), Tuhan (God), kebebasan (freedom), dan keabadian jiwa (­immortality) tidak bisa diketahui dan termasuk wilayah transenden serta bersifat noumenal. Di sungai Grup Zaman Modern ini juga terdapat aliran idealisme dengan pengalirnya yaitu J. Fichte, F. Schelling dan G.W. Hegel.  
Sungai yang dekat dengan periode saat ini adalah sungai Grup Masa Kini. Terdapat beberapa aliran di sungai. Pertama, positivism yang diprakarsai oleh Auguste Comte yang menyatakan bahwa pemikiran setiap manusia, pemikiran setiap ilmu dan pemikiran suku bangsa manusia pada umumnya melewati tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisis dan “positif-ilmiah”. Manusia pada tahap teologis percaya bahwa terdapat kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi berada pada tingkatan lebih tinggi dari makhluk insani biasa. Tahap teologis terdiri atas tiga periode yaitu (1) periode primitif di mana benda-benda dianggap berjiwa (animisme), (2) periode ketika manusia percaya pada dewa-dewa yang menguasai aspek-aspek tertentu seperti dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar (politheisme), (3) periode ketika manusia memandang satu, Allah sebagai penguasa segala sesuatu (monotheisme). Adapun pada tahap metafisis, konsep dan prinsip-prinsip abstrak diyakini sebagai yang mengatur gejala-gejala. Pada tahap terakhir dari aliran positivisme yaitu tahap “positif-ilmiah”, manusia menemukan ilmu pengetahuan dalam arti sebenarnya. Pada tahap ini manusia tidak lagi mencari penyebab di belakang fakta-fakta. Manusia membatasi diri pada fakta yang disajikan kepadanya. Manusia mencari relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat di antara fakta-fakta melalui observasi dengan menggunakan rasio.                  
Aliran kedua di sungai Grup Masa Kini adalah marxisme yang dipelopori oleh Karl Max melalui ajaran materialisme dialektis dan materialisme historis. Pada materialisme dialektis diyakini bahwa kenyataan akhirnya hanya terdiri dari materi yang berkembang melalui proses dialektis (tesa-antitesa-sintesa). Perubahan dalam kuantitas mengakibatkan  perubahan dalam kualitas. Artinya, suatu kejadian pada taraf kuantitatif dapat menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan cara ini kehidupan berasal dari materi mati dan kesadaran manusiawi berasal dari kehidupan organis. Pada materialisme historis diyakini bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan atau diderteminir oleh perkembangan sarana produksi materiil. Manusia sunggguhpun mengadakan sejarahnya, tetapi tidak bebas dalam mengadakan sejarahnya.
Aliran ketiga di sungai Grup Masa Kini adalah eksistensialisme yang diprakarsai oleh S. Kierkegaard dan F. Nietsche dan diteruskan oleh K. Jaspers, M. Heidegger, J.P. Sartre, G. Marcel dan Merleau Ponty. Aliran ini merupakan filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Dalam filsafat, eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Eksistensi manusia berbeda berbeda dengan benda. Dalam paham ini, benda dikatakan “berada”, di mana benda tidak sadar akan keberadaannya, yang satu berada di samping yang lain tanpa hubungan.  Adapun manusia dikatakan “bereksistensi”, berada bersama benda-benda itu, benda-benda menjadi berarti karena manusia. Manusia juga bereksistensi bersama-sama dengan sesama manusia.  Ciri-ciri paham ini antara lain, (1) memiliki motif pokok berupa eksistensi yaitu cara manusia berada, (2) bereksistensi harus diartikan secara dinamis; bereksistensi berarti menciptakan diriya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan; setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya, (3) manusia dipandang secara terbuka, sebagai realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk; manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesama manusia, (4) member tekanan kepada pengalaman yang konkret dan eksistensial (Heidegger member tekanan pada kematian yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan).
Aliran selanjutnya adalah fenomenologi yang diprakarsai E. Husserl dan dikembangkan oleh M. Scheler dan M. Merleau Ponty. Aliran ini menyatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kata fenomenologi berasal dari kata fenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, terihat karena bercahaya. Jadi, fenomenologi membicarakan fenomena atau gejala yang menampakkan diri. Menurut para filsuf, fenomenon tidak perlu harus diikuti dengan indra, karena dapat diikuti secara rohani tanpa melewati indra. Fenomenon adalah apa yang menampakkan diri pada dirinya sendiri.
Aliran yang juga mewarnai sungai Grup Masa Kini adalah pragmatisme dengan tokos-tokoh seperti W. James, J. Dewey. Pragmatisme menyatakan bahwa ide-ide tidak “benar” atau “salah” tetapi bahwa ide-ide dijadikan benar oleh suatu tindakan tertentu. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu yang membawa akibat praktis. Pengalaman pribadi bahkan kebenaran mistis dipandang berlaku jika membawa akibat praktis yang bermanfaat. Oleh karena itu, pragmatisme juga menyatakan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibatnya-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Aliran selanjutnya adalah Neo-Kantianisme dan Neo-tomisme. Neo-Kantianisme menganggap filsafat sebagai epistemologi dan kritik ilmu pengetahuan.  Para pengalirnya adalah E. Cassirer, H. Rickert, H. Vaihinger.  Adapun neo-tomisme berlandaskan pada doktrin filosofis dan teologis didasarkan pada pemikiran Thomas Aquinas (tomisme).       
Demikianlah (hanya) sebagian sungai-sungai yang telah mengalir di landscape filsafat dengan berbagai corak alirannya. Melalui telaah ini, saya baru sadar bahwa pengaruh filsafat ternyata luar biasa untuk kehidupan. Ternyata, ilmu-ilmu ilmiah yang selama ini saya pelajari awalnya dipelajari orang karena mereka berpikir, karena mereka tidak mau menerima begitu saja apa yang diceritakan oleh nenek moyang secara turun menurun. Mungkin, saat ini orang menjadi “gamang” saat belajar filsafat karena semua ilmu seakan-akan telah menjadi jelas bagi mereka. Ya, kita hidup di zaman modern, beribu-ribu tahun setelah zamannya para filsuf besar itu. Telah banyak penelitian, kajian yang membuktikan dan menguatkan ilmu-ilmu yang sekarang dapat dengan mudah kita pelajari dari buku, jurnal, surat kabar, internet dan sumber lain. 

Referensi:
Maksum, Ali. 2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz          Media
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara








Senin, 17 September 2012

Cermin #3
Ada dua hal yang terpantul di cermin #3 kali ini. Pertama, menjadi pribadi yang teguh. Pribadi yang teguh, berusaha menggapai harmoni, alangkah butuh kekuatan untuk mewujudkannya. Ada banyak episode waktu dalam hidup yang memungkinkan diri kita menjadi pribadi yang disharmoni. Saat merasa enggan, saat menunda pekerjaan, saat terlambat dari waktu yang dijanjikan, saat merasa ada jarak dengan sahabat, semuanya adalah disharmoni. Jika ada yang pernah menuliskan sebuah kisah mengenai sebuah porselen cantik dan proses pembuatannya, maka itu adalah gambaran terdekatku mengenai proses menggapai harmoni. Porselen itu tidak menjadi cantik hanya dengan sekali pembentukan, penghalusan, pemanasan. Ia juga tidak dibuat dalam waktu sekejab. Jika ia memilih berhenti dalam proses pembuatan dirinya itu, tentu tidak akan terbentuk sebuah porselen cantik, bernilai seni tinggi dan secara material berharga lebih pula. Tidak ada yang menafikkan bahwa kita pernah merasa lelah dalam berolah pikir, saat berusaha merefleksi, membuat tesis, antitesis dan sintesis. Mungkin kita juga pernah meminta lebih banyak waktu agar dapat memikirkan beberapa hal. Tak mengapa, selama proses refleksi itu tidak berhenti, selama kita tak bersembunyi, selama kita tak menjadi mengalami missing link, karena sesungguhnya berhenti, bersembunyi dan missing link itulah disharmoni. Kedua, hermeneutika dalam hidup. Amboi, ternyata kehidupan adalah hermeneutika itu sendiri. Seorang suami yang sangat memperhatikan kesehatan istrinya yang baru mengandung, maka ia sesungguhnya sedang menerjemahkan apa itu kasih sayang seorang ayah. Ketika seorang mahasiswa memanfaatkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk belajar, maka sesungguhnya ia sedang menerjemahkan perjuangan orang yang menuntut ilmu. Ketika seseorang sadar akan kesalahan dan memperbaikinya, maka ia sedang menerjemahkan taubat. Ya,karena hermeneutika tak cukup dipelajari tetapi juga dilaksanakan.Ternyata juga bahwa apa yang ada dan yang mungkin ada dalam hidup ini adalah hermeneutika.

Rabu, 12 September 2012

Cermin #2 Apa yang ada dan yang mungkin ada berada dalam diriku ketika aku memikirkannya. Akan tetapi sanggupkah manusia memikirkan segala? Memikiran semua yang tercakup dalam apa yang ada dan yang mungkin ada? Ketika diriku mendapati bahwa tidak mampu menyebutkan segala yang ada dan yang mungkin ada, saat itulah kuterima bahwa bicaraku terbatas. Ketika diriku mendapati bahwa tidak mampu memikirkan segala yang ada dan yang mungkin ada, saat itulah kuterima bahwa pikiranku terbatas. Kapan manusia dikatakan mengetahui? Saat kita menyebutkan, memikirkan suatu hal maka hal tersebut ada dalam diri kita. Maka, bingung merupakan awal pengetahuan. Kuucapkan selamat pada diriku atas kebingungan-kebingungan yang pernah kualami. Pada kesempatan ini diriku ingin menyampaikan salah satu yang sudah kulihat dan kupikirkan. Keterangbenderangan yang Menenggelamkan ~terinspirasi ketika berkendara di malam hari~
Ternyata, terang benderang tidak berarti menampakkan semua. Ada yang pernah mengatakan pada kita, “Nyalakanlah lampu ruangan ini agar semua kelihatan dengan jelas!” Apakah semua lantas terlihat jelas? Nyatanya, kunang-kunang menjadi tak terlihat saat lampu menyala, saat halaman rumah kita terang benderang. Nyatanya, bulan dan bintang tak terlihat saat matahari bersinar, terang benderang di siang hari. Nyatanya, gelombang pada jalan beraspal justru terlihat jelas saat malam tiba, bukan saat terang benderang di siang hari. Nyatanya, manusia lebih sering mampu melihat pelita hidup saat ia mengalami duka, bukan saat bahagia. Ah, semoga cahaya itu ada di hati kita yang tak akan membuat kita silau terhadap penampakan tetapi mampu menemukan hakikat. Yogyakarta, 13 September 2012 Pertanyaan saya, “Seperti apakah seharusnya keterangbenderangan yang mencerahkan itu?”

Senin, 03 September 2012

Cermin #1.
Kembali bercengkerama dengan pemikiran mendalam. Itulah yang kusebut filsafat. Kala itu, tahun 2009, aku berkenalan dengan ilmu ini yang kemudian kuketahui bahwa sejak kita bisa berpikir maka kita telah bisa berfilsafat. Masih kuingat perkataan seorang filsuf, “Aku berpikir maka aku ada.” Hm,,,maka masing – masing kita adalah filsuf, bukan? Kalaupun ada kriteria khusus yang harus dipenuhi untuk bisa disebut filsuf, maka minimal kita adalah filsuf dalam kehidupan kita sendiri:) Manusia berinteraksi dengan semua yang ada dan mungkin ada di dunia ini. Manusia memiliki kuasa yang menjadikan dirinya subjek. Dengan kuasa itu ia memperlakukan pihak lain sebagai objek. Tapi berhati – hatilah, karena di saat yang sama ia pun adalah objek dari pihak lain. Kuasa pada diri manusia memang dapat digunakan untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya, dengan kata lain membuat setiap manusia “berkuasa”. Manusia berkuasa, tetapi ia juga memiliki hati. Saat kuasa manusia berbuat, hati selalu memberikan arahan, “guide”. Hati berkali-kali menasehati jika manusia mulai liar menggunakan kuasanya. Jika ia liar maka ia bisa menjadi pemangsa ruang dan waktu pihak lain. Hal itu bisa terjadi pada diri saya dan Anda, dengan sekecil apapun tindakan. Maka berhati – hatilah menggunakan kuasa:)