BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah berpikir refleksif. Berpikir refleksif mengandung makna aktivitas berpikir secara mengakar (radikal), meluas (ekstensif) dan mendalam (intensif). Dalam tingkatan berpikir, filsafat menempati kedudukan kedua setelah spiritual. Adapun tingkatan berpikir dari tinggi ke rendah adalah berpikir spiritual, berpikir normatif, berpikir formal dan berpikir material (Marsigit, 2012). Sebagai kegiatan berpikir tingkatan nomor 2, maka sejauh mana intensif dan ekstensifnya filsafat akan mempengaruhi kebijaksanaan berpikir pada level di bawahnya, yaitu formal dan material. Intensif dan ekstensifnya pemikiran filsafat seorang guru akan mempengaruhi kinerjanya sebagai seorang pendidik. Seorang guru dengan pemahaman filsafat akan mampu bergerak layaknya dalam helikopter yang mengikuti laju gerbong-gerbong pendidikan. Ada fungsi kontrol yang dimainkan oleh pendidik yang memahami filsafat. Tanpa memahami filsafat, pendidik layaknya penumpang di sebuah gerbong yang dalam keadaannya itu ia tak mengetahui keseluruhan kondisi gerbong, sebagaimana dinyatakan oleh Marsigit (2012), sebagai berikut,
Pendidikan itu dapat diibaratkan sebagai gerbong kereta api. Demikian juga pendidikan matematika. Filsafat itu dapat diibaratkan sebagai helicopter pengawal gerbong KA. Para pendidik, atau guru atau praktisi kependidikan jika tidak pernah mempelajari filsafat pendidikan atau filsafat pendidikan matematika, mereka itu ibarat penunmpang KA tersebut. Maka bagaimana mungkin penumpang KA bisa mengetahui semua aspek sudut-sudut gerbong KA dalam perjalanannya. Maka filsafat pendidikan matematika itu ibarat seorang penumpang KA itu keluar dari gerbong KA an kemudian naik helicopter untuk mengikuti dan memonitor laju perjalanan KA itu. Maka orang yang telah mempelajari filsafat pendidikan matematika jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek pendidikan matematika.
Menjadi penting bagi pendidik khususnya pendidik matematika untuk memahami filsafat. Dengan memahami filsafat maka seseorang pendidik matematika akan mampu menjelaskan semua dari apa yang dimaksud dengan semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika (Marsigit, 2012). Masih berkaitan dengan pentingnya filsafat untuk pendidik, George R. Knight menyatakan bahwa sebuah tugas utama filsafat pendidikan adalah membantu para pendidik berpikir secara bermakna tentang totalitas pendidikan dan proses hidup sehingga mereka berada dalam posisi yang lebih baik untuk bisa mengembangkan sebuah program yang konsisten dan komprehensif yang membekali para pelajar mereka dalam meraih tujuan yang diinginkan (2007:5). Merujuk pada pernyataan George R. Knight tersebut, maka pendidik dalam hal ini guru perlu memahami filsafat agar bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan pendidikan.
Pemahaman guru mengenai filsafat pendidikan matematika akan mempengaruhi persepsi, tujuan dan apa yang diupayakan untuk mencapai tujuan. Beberapa hal mendasar dalam pendidikan matematika yang berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi, tujuan dan usaha guru adalah pemaknaan matematika, pembelajaran matematika, hakikat siswa dan hakikat guru. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seperti apakah persepsi, tujuan dan usaha guru dapat ditelusuri dari pemaknaan terhadap hal-hal mendasar tersebut. Secara empiris saat ini banyak ditemukan fenomena di mana pembelajaran matematika dijalankan secara tidak adil untuk siswa. Makna tidak adil dalam hal ini adalah tidak mengakomodasi kebutuhan psikologis, sosial dan kebutuhan interpersonal siswa serta apa yang disebut sebagai “the nature of learning mathematics for younger student”.
Kondisi pembelajaran matematika sesungguhnya hanya ditentukan oleh guru saja. Dalam bukunya yang berjudul “Critical Variables in Mathematics Education”, Begle (1978) menyatakan bahwa terdapat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi pendidikan matematika di antaranya adalah (1) guru, (2) kurikulum, (3) siswa, (4) lingkungan, (5) variabel instruksional (pengajaran), (6) tes, (7) problem solving. Di antara ketujuh variabel yang sama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap pembelajaran, guru memiliki peranan strategis karena secara berinteraksi secara langsung dengan siswa dan memiliki kewenangan dalam pengelolaan pembelajaran. Oleh karena itu, guru adalah sosok penting yang menentukan kualitas pembelajaran.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang maka masalah diidentifikasi sebagai berikut,
1. Adanya ketidakidealan kondisi pembelajaran matematika yang saat ini dipandang belum adil untuk siswa dikarenakan permasalahan pada faktor-faktor yang mempengaruhinya meliputi guru, kurikulum, siswa dan lain-lain.
2. Guru sebagai fasilitator pembelajaran perlu memaknai kembali mengenai hakikat matematika, pembelajaran matematika, hakikat siswa dan hakikat guru.
C. Batasan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan, masalah dibatasi pada bagaimana memaknai pembelajaran matematika yang bermakna adil untuk siswa berdasarkan pada filsafat-filsafat yang bersesuaian.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah hakikat matematika?
2. Apakah hakikat pembelajaran matematika di sekolah?
3. Apa sajakah yang harus diupayakan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika?
E. Tujuan Penulisan Makalah
1. Menguraikan pandangan para filsuf dan pandangan yang merujuk pada pandangan filsuf mengenai matematika.
2. Menguraikan pandangan para filsuf dan pandangan yang merujuk pada pandangan filsuf mengenai matematika sekolah.
3. Mensintesiskan pandangan para filsuf untuk mengelola pembelajaran matematika yang bermakna adil untuk siswa.
F. Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini penulis harapkan memberi manfaat sebagai berikut,
1. Melatih kemampuan penulis dalam berolah pikir meliputi menyusun tesis, antitesis dan sintesis dari suatu pandangan.
2. Memberikan bekal berupa pijakan filosofis bagi penulis untuk mengelola pembelajaran matematika.
3. Memberikan kontribusi ide kepada dunia pendidikan mengenai tindakan yang layak dilaksanakan dalam pembelajaran matematika.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Matematika
Terdapat banyak pemahaman mengenai matematika mulai dari para filsuf kontemporer maupun para praktisi pendidikan masa kini. Socrates mengatakan bahwa matematika adalah pertanyaan; Plato mengatakan bahwa matematika adalah ide; Aristoteles mengatakan bahwa matematika adalah pengalaman; Wittgeinstein mengatakan bahwa matematika adalah bahasa; Kant menyatakan bahwa matematika adalah pikiran sekaligus pengalaman. Berikut adalah pandangan para filsuf mengenai matematika.
Pertama, Thales, seorang filsuf dari zaman filsafat alam, menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang bicara. Menurut Thales, matematika bukanlah ilmu alam.
Kedua, Plato yang menyatakan bahwa matematika bersifat abstrak sedangkan yang bersifat kongkrit adalah contoh dari matematika. Masih menurut Plato, matematika telah ada secara lengkap dalam pikiran manusia sehingga apabila manusia tidak bisa menemukan suatu hal dari matematika maka hal itu disebabkan ketidakpahamannya. Salah satu kondisi yang berkaitan dengan ketidakpahaman manusia disebut oleh Plato sebagai kondisi ketika jiwa atau pikirannya sedang dipenjarakan oleh badannya. Matematika menurutnya bersifat absolut, ideal, abstrak dan tetap. Dalam hal ini tidak berlaku adanya kesalahan atau kekurangsempurnaan dalam matematika. Pandangan Plato ini mengilhami aliran absolutism atau idealism dalam matematika.
Salah satu murid Plato yaitu Aristoteles memiliki pemikiran yang berbeda mengenai matematika. Aristoteles menyatakan bahwa matematika adalah pengalaman sehingga bersifat kongkrit dan relatif. Pemikiran ini mengilhami munculnya aliran empirisme. Pertentangan antara Plato dan Aristoteles ini berlanjut hingga saat ini seiring dengan pendapat-pendapat turunan yang mengacu pada masing-masing pemikiran keduanya. Pada awal jaman filsafat modern, Rene Descartes yang mengikuti Plato menginisiasi aliran rasionalisme sedangkan David Hume yang mengikuti Aristoteles tetap mendukung empirisme. Oleh karena itu, dalam hal pemahaman mengenai hakikat matematika pun akan ditemukan dua pendapat yang berbeda. Kita dapat menyebut bahwa Plato dengan idealismenya sebagai aliran yang dianut oleh kalangan pure mathematics sedangkan empirisme yang diinisiasi oleh Aristoteles menginspirasi school mathematics.
Berkaitan dengan keberadaan pure mathematics dan school mathematics, sebuah sejarah besar pernah terjadi sebagai hal yang melatarbelakangi keberadaan keduanya. Sejarah ini lagi-lagi memuat pertentangan antara guru dan muridnya sebagaimana antara Plato dan Aristoteles. Hilbert, sang guru, mengembangkan teorema untuk membuktikan bahwa matematika bersifat tunggal. Salah satu muridnya yaitu Godel pada akhirnya dapat meruntuhkan teorema tersebut dengan membuktikan bahwa jika matematika bersifat tunggal maka berlaku sifat tertutup dan apabila matematika tertutup maka berlaku sifat tidak lengkap. Menurut Godel, agar matematika bersifat lengkap maka matematika harus bersifat terbuka yang mengakibatkan ketidakkonsistenan di dalamnya.
Oleh karena itu, agar matematika konsisten maka ia tidak tunggal.
Pemikiran Hilbert masih terlihat dalam dunia pure mathematics hingga saat ini di mana matematika didefinisikan sebagai ilmu yang memiliki karakter,
1. Memiliki obyek kajian abstrak
2. Bertumpu pada kesepakatan
3. Berpola pikir deduktif
4. Memiliki simbol yang kosong dari arti
5. Memperhatikan semesta dari pembicaraan
6. Konsisten pada sistemnya.
Berdasarkan definisi di atas maka pembelajaran kemudian dilaksanakan dengan mengedepankan struktur formal. Matematika diajarkan pertama kali dengan mengenalkan konsep atau yang direduksi menjadi rumus. Pembelajaran yang demikian menyebabkan beberapa permasalahan bercorak “gunung es” yang identik dengan pernyataan bahwa matematika itu sulit, bahwa matematika itu menakutkan bagi sebagian siswa. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan siswa cenderung tidak terakomodasi meliputi kebutuhan psikologis, sosial dan interpersonal.
Berangkat dari kondisi tersebut maka perlulah bagi kita sebagai pendidik pada school mathematics untuk menelaah hakikat sebenarnya dari matematika. Apabila pada beberapa kurun waktu sebelumnya warna pure mathematics telah demikian dominan pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia maka saat inilah untuk mulai mengembangkan pembelajaran yang adil untuk siswa. Pembelajaran yang adil ini akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya mengenai hakikat pembelajaran matematika.
B. Hakikat Pembelajaran Matematika di Sekolah
Berkaitan dengan hakikat matematika, maka kita perlu melandaskan pembelajaran pada definisi matematika yang sesuai dengan “the nature of learning mathematics for younger student”. Definisi tersebut tersebut termuat dalam apa yang dijabarkan dalam school mathematics. Ebbutt and Straker (1995: 10-63) dalam Marsigit (9-11) mendefinisikan school mathematics sebagai berikut,
1. Matematika adalah kegiatan penelusuran pola atau hubungan
2. Matematika adalah kegiatan problem solving
3. Matematika adalah kegiatan investigasi
4. Matematika adalah komunikasi
Berdasarkan definisi tersebut, maka selanjutnya kita dapat memaknai pembelajaran matematika sebagai pembelajaran mengenai matematika dengan menempatkan matematika sebagai kegiatan penelusuran pola atau hubungaan, kegiatan problem solving, kegiatan investigasi dan komunikasi.
Selain itu ditinjau dari kebutuhan siswa, pembelajaran selayaknya dapat memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan interpersonal siswa.
C. Dunia Matematika Sekolah adalah Milik Kita
Sebagaimana telah disebutkan pada latar belakang bahwa guru memiliki peranan strategis dalam pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Peranan ini hanya dimiliki guru, tidak oleh menteri, dinas pendidikan, dosen bahkan profesor sekalipun. Siapakah yang mengetahui kondisi siswa dalam sebuah kelas? Siapakah yang memahami kesulitan-kesulitan belajar mereka? Siapakah yang mengetahui tingkat pemahaman mereka? Siapakah yang mengetahui melalui pendekatan seperti apa mereka bisa lebih optimal dalam belajar? Siapakah yang diberi kewenangan untuk mengelola pembelajaran di kelas mereka? Jawabannya adalah guru. Oleh karena itu penulis sangat ingin menyampaikan bahwa dunia matematika sekolah adalah milik kita sehingga penting bagi kita untuk mengelolanya sehingga bermakna adil bagi siswa.
D. Pentingnya Menumbuhsuburkan Intuisi Siswa
Intuisi berkaitan dengan cara setiap orang belajar dan menjalani kehidupannya. Marsigit (2012) menyatakan bahwa seseorang menggunakan intuisinya ketika ia tidak tahu kapan ia mulai mengetahui atau mengetahui suatu hal. Sebagai contoh, seorang anak dapat memahami makna rasa panas, dingin, sakit, tapi tidak mengetahui sejak kapan ia memahaminya. Intuisi juga lekat dengan suatu hal yang tidak selalu perlu didefinisikan. Seorang siswa kelas 1 SD, misalnya, mengetahui bilangan 2 tanpa terlebih dahulu diajarkan definisi bilangan 2. Immanuel Kant (1781:16) menyatakan dalam bukunya ”The Critique of Pure Reason” mengenai peranan intuisi sebagai berikut,
We may make the same experiment with regard to the intuition of objects. If the intuition must conform to the nature of the objects, I do not see how we can know anything of them a priori. If, on the other hand, the object conforms to the nature of our faculty of intuition, I can then easily conceive the possibility of such an a priori knowledge. Now as I cannot rest in the mere intuitions, but—if they are to become cognitions—must refer them, as representations, to something, as object, and must determine the latter by means of the former, here again there are two courses open to me.Either, first, I may assume that the conceptions, by which I effect this determination, conform to the object—and in this case I am reduced to the same perplexity as before; or secondly, I may assume that the objects, or, which is the same thing, that experience, in which alone as given objects they are cognized, conform to my conceptions—and then I am at no loss how to proceed. For experience itself is a mode of cognition which requires understanding. Before objects, are given to me, that is, a priori, I must presuppose in myself laws of the understanding which are expressed in conceptions a priori. To these conceptions, then, all the objects of experience must necessarily conform. Now there are objects which reason thinks, and that necessarily, but which cannot be given in experience, or, at least, cannot be given so as reason thinks them. The attempt to think these objects will hereafter furnish an excellent test of the new method of thought which we have adopted, and which is based on the principle that we only cognize in things a priori that which we ourselves place in them.
Dalam paparannya, Kant menyatakan bahwa jika intuisi harus sesuai dengan sifat objek maka kita tidak akan mendapatinya secara a priori; namun jika objek yang menyesuaikan dengan sifat kemampuan pengetahuan a priori maka kita dapat dengan mudah menemukannya sebagai pengetahuan a priori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang diperoleh murni melalui pikiran, tanpa berinteraksi dengan objek. Pengetahuan a priori bersifat analitik dan koheren. “Lawan” dari pengetahuan a priori adalah pengetahuan a posteriori yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui interaksi dengan objek, tanpa deskripsi sebelumnya mengenai objek tersebut.
Pembelajaran Matematika sesungguhnya merupakan proses dari sintesis ilmu itu sendiri. Konsep sintesis ilmu oleh Immanuel Kant disebut sebagai sintetik a priori, yaitu mengkolaborasikan antara pengalaman dan pikiran. Marsigit menyatakan bahwa oleh Kant, metode sintetik dilawankan dengan metode analitik dan konsep “a priori” dilawankan dengan “a posteriori”. Lebih lanjut dinyatakan oleh Marsigit sebagai berikut,
Jika matematika dikembangkan hanya dengan metode “analitik” maka tidak akan dihasilkan (dikontruksi) konsep baru, dan yang demikian akan menyebabkan matematika hanya bersifat sebagai ilmu fiksi. Menurut Kant, matematika tidak dikembangkan hanya dengan konsep “a posteriori” sebab jika demikian matematika akan bersifat empiris. Namun data-data empiris yang diperoleh dari pengalaman penginderaan diperlukan untuk menggali konsep-konsep matematika yang bersifat “a priori”.
Merujuk pada paparan Kant, intuisi berperan baik dalam pengetahuan a priori maupun a posteriori. Agar mampu berpikir secara tepat, manusia memerlukan intuisi sebagaimana ia memerlukannya dalam pengalamannya. Maka, dalam gagasan “sintetik a priori” yang diusung Kant, intuisi pun berperan penting dalam mensintesiskan ilmu melalui pikiran dan pengalaman. Hal ini pun berlaku dalam pembelajaran matematika. Hal-hal yang dipelajari pada matematika tidak selalu harus didefinisikan. Pembelajaran bisa berawal dari fenomena yang diamati pada kehidupan sehari-hari.
E. Pentingnya Menyampaikan Matematika sebagai Kegiatan bukan Struktur Formal
Mathematics is an activity. Pernyataan tersebut bisa jadi mewakili keinginan kita bersama untuk mewujudkan pembelajaran matematika yang adil untuk siswa. Namun, saat ini bagaimanakah persepsi kita secara umum mengenai matematika? Sebuah eksperimen sederhana pernah dilakukan Idris Harta, Ph,D. pada bulan Oktober 2012 dalam perkuliahan Metode Pembelajaran Matematika untuk mahasiswa program pascasarjana UNY. Beliau menginstruksikan kepada para mahasiswa untuk menuliskan dua kata yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata “matematika”. Ternyata banyak di antara mahasiswa yang menuliskan kata “rumus” dan “bilangan”. Eksperimen sederhana ini memberikan gambaran bahwa persepsi kita sebagai pendidik dan calon pendidik matematika masih berkutat pada hal-hal pragmatis seperti “rumus” dan “bilangan”.
Matematika sebagai kegiatan adalah sebagaimana yang diusung kaum public educator, sebagaimana dinyatakan oleh Paul Ernest. Ernest menyatakan bahwa dalam hal theory of teaching mathematics, kaum public educator menyatakannya sebagai discussion, conflict, questioning content and pedagogy. Berdasarkan pandangan tersebut maka pembelajaran matematika hendaknya mengakomodasi bentuk-bentuk diskusi, konflik, menanyakan konten dan pedagogik.
F. “Wisdom” untuk Guru
Wisdom, kebijaksanaan, dalam hal ini bermakna kecendekiaan. Bagaimanakah wisdom yang sesungguhnya bagi seorang guru? Stephen Brookfield (1995) dalam tulisannya berjudul “The Getting of Wisdom: What Critically Reflective Teaching is and Why It's Important” menyatakan paparan mengenai reflective teaching, ”…reflection becomes critical when it has two distinctive purposes. The first is to understand how considerations of power undergird, frame and distort so many educational processes and interactions. The second is to question assumptions and practices that seem to make our teaching lives easier but that actually end up working against our own best long term interests - in other words, those that are hegemonic.” Berdasarkan pernyataan Brookfield tersebut kita mengetahui bahwa kita telah melakukan refleksi secara kritis jika telah menelaah dua hal meliputi (1) hal-hal yang menjadi kerangka (frame) dan mendistorsi begitu banyak proses dan interaksi pendidikan dan (2) asumsi dan praktek yang membuat cara mengajar kita terasa mudah namun sesungguhnya berlawanan dengan tujuan jangka panjang pembelajaran.
Secara filosofis, gagasan reflective teaching ini disampaikan oleh John Dewey. Dalam bukunya, How We Think (1993:15), sebagaimana dikutip dalam referensi yang lain, ia menyatakan,
Thought affords the sole method of escape from purely impulsive or purely routine action. A being without capacity for thought is moved only by instincts and appetites, as these are called forth by outward conditions and the inner state of the organism. A being thus moved, as if were, pushed from behind.
Pemikiran John Dewey tersebut sangat menekankan pada pengembangan berpikir. Kapasitas berpikir inilah yang membedakan apakah seseorang digerakkan oleh insting dan seleranya ataukah ia digerakkan oleh pemahamannya. John Dewey kemudian menyarankan kepada kita untuk bergerak dari aktivitas rutin menuju aktivitas reflektif berupa penilaian diri. Oleh karena itu, untuk meraih wisdom dalam mendidik, guru sangat perlu melakukan penilaian diri dalam rangka mengevaluasi arah dan tindakan yang telah dilakukan.
BAB III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang memuat uraian dari pemikiran filsuf baik berdasarkan sumber primer maupun sekunder, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut,
1. Matematika yang sesuai dengan “the nature of learning mathematics for younger student” adalah school mathematics yang menempatkan matematika sebagai kegiatan.
2. Dunia matematika sekolah adalah “milik” kita sebagai pendidik untuk dikelola sehingga bermakna adil untuk siswa.
3. Intuisi memegang peranan penting dalam proses belajar siswa sehingga menjadi penting pula untuk menumbuhsuburkannya melalui pembelajaran matematika.
4. Berkaitan dengan pentingnya peranan intuisi, matematika hendaknya diajarkan sebagai kegiatan, bukan sebagai struktur formal.
5. Untuk meraih wisdom atau kecendekiaan, guru perlu melakukan refleksi yang berwujud penilaian diri.
DAFTAR PUSTAKA
Begle, E.G. 1978. Critical Variables in Mathematics Education. Washington, D.C. : Mathematical Association of America&NCTM
Ernest, P. 1999. Restoring Discipline to The Class: The New National Curriculum for Primary Mathematics Teacher Education dalam The Philosophy of Mathematics Education Journal. Tersedia di people.exeter.ac.uk/PErnest/pome11/pome11.doc. Diakses pada tanggal 23 November 2012
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan. (Penerjemah Mahmud Arif). Yogyakarta: CDIE dan Gama Media
Marsigit. 2011. Elegi Pemberontakan Pendidikan 18: Apakah Mat Kontradiktif (Tanggapan utk Ibu Kriswianti). Tersedia di http://powermathematics.blogspot.com/2010/09/elegi-pemberontakan-pendidikan_5664.html. Diakses pada tanggal 26 November 2012
Marsigit. _ Peran Intuisi dalam Matematika Menurut Immanuel Kant. Tersedia di staff.uny.ac.id/..../Makalah%20Kon%20Nas%20Mat%20Semarang.p... Diakses pada tanggal 16 Oktober 2012
Marsigit. Revitalisasi Pendidikan Matematika. Tersedia di staff.uny.ac.id/..../Revitalisasi%20Pendidikan%20Matematika_... Diakses pada tanggal 13 Januari 2012.