Rabu, 16 Januari 2013

Meski Harus Dicukupkan dalam Dimensi Ruang dan Waktu Namun Ini Bukan Ujung Pencarian Kebijaksanaan



 Cermin #8
Sumber gambar: http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Klinik-Cerita/Pohon-Apel-Ajaib

Jika filsafat hanya ditemukan di kelas maka ia akan sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun karena ia bersifat menembus ruang dan waktu, istilah “sudah selesai” menjadi relatif. Maka inilah beberapa ilmu yang kami masih berkesempatan untuk berusaha menggapainya.
Dalam dimensi kehidupan, filsafat menduduki lapisan kedua tertinggi setelah spiritual. Pada lapisan di bawahnya berturut-turut terdapat ilmu bidang dan aplikasi. Filsafat sendiri adalah tingkatan berpikir di mana ia selalu terletak di bawah spiritual dan  di atas tingkatan berpikir formal dan material. Sebagai dimensi dan tingkatan berpikir yang demikian maka filsafat mempengaruhi pemikiran pada lapisan di bawahnya yaitu pada ilmu bidang dan aplikasi serta pada tingkat berpikir formal dan material sekaligus bahwa keberadaannya dipayungi oleh spiritual.
Matematika merupakan salah satu ilmu bidang yang keberadaannya tidak lepas dari peran para filsuf besar dalam mensintesiskan gagasan mengenai matematika baik dalam aspek epistemologi, ontologi maupun aksiologi hingga pada perkembangannya menjadi ilmu bidang sekaligus aplikasi. Sebagai ilmu bidang, matematika dapat diibaratkan sebagai pantai, tempat bermuaranya sungai yang dapat ditelusuri sampai pada hulu dan hilir di mana para filsuf dengan aliran pemikirannya membentuk dan mempengaruhi matematika.
Secara umum mengenai matematika, kita dapat memandangnya sebagai corak penampakan yang dipengaruhi oleh epistemologi, ontology dan aksiologi filsafat. Adapun secara mendetail, kita bisa merunutnya berdasar sungai-sungai yang mengalirinya. Maka dalam pembahasan ini akan diuraikan bagaimana penerapan dan contohnya dalam pembelajaran matematika dari ketiga sisi tersebut dan penerapan khusus dari aliran pemikiran  pada filsafat itu sendiri.
Memandang objek dari ketiga segi inti dari filsafat berarti memandangnya menurut asal muasalnya, bagaimana cara berpikir sekaligus hakikat objek dan nilai atau value objek tersebut. Pembelajaran merupakan salah satu sarana bagi siswa untuk memperoleh apa yang menjadi tujuan dalam pendidikan. Maka, wadah dan isi pembelajaran ditentukan oleh apa yang menjadi tujuan pendidikan. Para filsuf mulai dari Thales, Plato, Aristoteles hingga filsuf jaman modern telah mensintesiskan hal ini. Mulai dari definisi ilmu, definisi berpikir, hingga terdapat referensi dari Paul Ernest yang menyatakan bahwa dunia pendidikan terbagi berdasarkan ideologi yang mendasarinya. Terdapat setidaknya lima jenis ideology yaitu industrial trainer, technological pragmatist, old humanist, progressive educator dan public educator.
Secara garis besar, 3 ideologi pertama yang disebutkan cenderung mengarah pada hasil yang dapat diukur sedangkan pada 2 ideologi terakhir menjadikan pembelajaran sebagai aktivitas dengan berbagai aspek yang hendak dikembangkan dari diri siswa. Ernest (1999:27) menyatakan bahwa dalam perspektif pembelajaran  Industrial Trainer, Technological Pragmatist dan old humanist, pembelajaran sangat berorientasi pada pengukuran pembelajaran meliputi penilaian dan hasil penilaian. Penilaian berfokus pada pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang mana aspek afektif menjadi termarjinalkan dalam pembelajaran.  Ernest juga menyatakan bahwa, “… learning is very much dominated and overshadowed by teacher-centred instruction.” Guru berperan sangat dominan dalam pembelajaran. Dalam terminologi lain kita bisa menyatakan sebagai pengajaran tradisional. Adapun pada progressive educator dan public educator, pembelajaran dipandang sebagai aktivitas, play, eksplorasi, aktif, bertanya dan pemberdayaan.
Pandangan mengenai pembelajaran juga sangat terkait dengan pandangan mengenai ilmu yang dipelajari yang dalam hal ini adalah matematika. Perbedaan dalam memandang matematika menyebabkan perbedaan dalam membelajarkannya kepada siswa. Sangat jelas dikemukakan oleh masing-masing ideology: industrial trainer mengatakan bahwa matematika adalah set of truths and rules; technological pragmatist menyatakan bahwa matematika adalah unquestioned body of useful knowledge; old humanist menyatakan bahwa matematika adalah body of structured pure knowledge (Ernest, 1999:21) . Jika suatu ilmu itu unquestioned, telah nyata benar dan bersifat pure maka mempelajarinya adalah secara absolute, memungkinkan diskusi tapi diskusi yang sangat “teratur” untuk menyatakan kebenaran ilmu tersebut. Di titik ini pengaruh pijakan filsafat terhadap pembelajaran terlihat dengan sangat nyata.
Epistemological foundation of mathematics memunculkan status dan fondasi pengetahuan matematika dengan menguji “the basis of mathematical knowledge” dan “the certainty of mathematical judgments”. Karena menguji “the basis of mathematical knowledge” dan “the certainty of mathematical judgments” maka terdapat beberapa jenis epistemological foundation of mathematics sesuai dengan sintesis para filsuf mengenai dua hal tersebut. Pertama, para filsuf pada zaman filsafat alam menyatakan bahwa matematika dan metodenya dapat digunakan untuk menggambarkan alam. Menurut Nikulin D., matematika dapat memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak bisa menjadi sebaliknya dan karena itu tidak berkaitan dengan hal-hal fisik, yang mana hanya akan menjadi hal-hal yang mungkin benar. Adapun Ernest menyatakan bahwa aliran absolutism dalam matematika meliputi logicism, formalism, intuitionism and platonism menganggap matematika sebagai “body of absolute and certain knowledge”. Ernest sendiri menyatakan bahwa matematika dapat dibenarkan, dapat keliru dan merupakan produk sosial yang berubah. 
Lakatos yang terkenal dengan fallibism-nya. menyatakan bahwa pencarian terhadap kepastian dalam matematika mengarah kepada kemunduran yang tak terbatas (infinite regress). Saat ini setiap sistem matematika  mutlak tergantung pada seperangkat asumsi. Karena tidak memungkinkan untuk menghilangkan semua asumsi, menurut Lakatos, yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan penggunaan asumsi tersebut. Karena selalu mengandalkan asumsi, Lakatos menegaskan bahwa setiap upaya untuk membangun kepastian dalam matematika melalui logika deduktif dan sistem aksiomatis akan gagal
 Epistemological foundation of mathematics akan mengarahkan kita pada dua aliran besar dalam matematika yang hingga kini mewarnai dunia pendidikan tinggi dan pendidikan dasar-menengah.  Keduanya adalah absolutism dan fallibism-constructivism. Absolutism yang merupakan perwujudan dari Platonism, mewarnai dunia pendidikan dengan pure mathematics-nya sedangkan fallibism-constructivism berasal dari Aristotelian yang menghendaki matematika bukan sebagai struktur formal yang tertutup dan absolut tetapi sebagai kegiatan, kaya dengan proses membangun, memandang bahwa matematika itu tidak terbebas dari kesalahan. 
Construktivism dalam kajian filsafat adalah cara manusia membangun kehidupannya itu sendiri. Maka, constructivism adalah hermeneutika itu sendiri. Dalam kehidupan keluarga misalnya,  prinsip interaksi yang mendasarkan pada constructivism menyebabkan masing-masing anggota keluarga untuk saling membangun kebahagiaan, kemampuan, penerimaan, yang didasarkan pada kepercayaan. Maka pembelajaran matematika yang didasarkan pada constructivism akan menekankan pada membangun pengetahuan, pemahaman, aspek psikologis, sosial dan interpersonal siswa dengan didasarkan atas kepercayaan. Kepecayaan dalam hal ini adalah bahwa guru mempercayai bahwa siswa memiliki kemampuan jika diberi kesempatan. Maka constructivism jauh letaknya dari determinis, di mana guru telah menetapkan sifat siswa atau membuat prejudice yang diistilahkan juga dengan menutupi sifat-sifat siswanya. Guru dalam kondisi demikian telah melakukan reduksi terhadap sifat siswa.
      Constructivisme sendiri berawal dari gagasan Aristoteles yang merupakan penolakan terhadap Platonism. Berkaitan dengan hal ini, Wilder R.L. menyatakan bahwa dalam sudut pandang constructivism obyek matematika ada hanya jika dapat dibangun (dikonstruk). Berangkat dari pandangan ini, semua objek matematika seharusnya adapat dikonstruk dan dibawa ke dalam pembelajaran matematika.  Menurut Kant, constructivism berngakat dari kesadaran akan keterbatasan, ketidaksempurnaan dan kerentanan manusia. Manusia terancam dengan klaim yang tidak benar sehingga kata Kant, “thus they need to check and criticize the unjustified and arbitrary assumptions they make in reasoning.” Ada dua hal yang layak dipertimbangkan dalam hal ini yaitu intusi dan introspeksi.
            Selnjutnya, sampai di titik ini, kami kembali teringat makna belajar filsafat.  Berfilsafat adalah untuk menjadikan diri kita sensitif terhadap kehidupan, menginstrospeksi apa yang kurang tepat dalam diri dan kehidupan, selanjutnya berbuat untuk menjadi saksi terhadap diri dan kehidupan itu sendiri. Tujuan yang baik harus  dicapai dengan cara yang baik pula. Maka, dalam filsafat juga terdapat adab-adabnya: dilakukan secara kontinyu agar tercapai kondisi harmoni, sehat secara filsafat; menempatkan spiritual di atas filsafat sehingga kegiatan olah pikir berada pada track yang benar; menggunakannya dalam ruang dan waktu yang tepat.

           
Referensi:  
Ernest, P. 1999. Restoring Discipline to The Class: The New National Curriculum for Primary Mathematics Teacher Education dalam The Philosophy of Mathematics Education Journal. Tersedia di people.exeter.ac.uk/PErnest/pome11/pome11.doc. Diakses pada tanggal 23 November 2012
Perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Dr. Marsit, M.A. pada semester gasal tahun akademik 2012/2013

 Sumber belajar yang diposting di http://powermathematics.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar