Cermin #8
![]() |
Sumber gambar: http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Klinik-Cerita/Pohon-Apel-Ajaib |
Jika
filsafat hanya ditemukan di kelas maka ia akan sangat terbatas oleh ruang dan
waktu. Namun karena ia bersifat menembus ruang dan waktu, istilah “sudah
selesai” menjadi relatif. Maka inilah beberapa ilmu yang kami masih
berkesempatan untuk berusaha menggapainya.
Dalam
dimensi kehidupan, filsafat menduduki lapisan kedua tertinggi setelah spiritual.
Pada lapisan di bawahnya berturut-turut terdapat ilmu bidang dan aplikasi.
Filsafat sendiri adalah tingkatan berpikir di mana ia selalu terletak di bawah
spiritual dan di atas tingkatan berpikir
formal dan material. Sebagai dimensi dan tingkatan berpikir yang demikian maka
filsafat mempengaruhi pemikiran pada lapisan di bawahnya yaitu pada ilmu bidang
dan aplikasi serta pada tingkat berpikir formal dan material sekaligus bahwa
keberadaannya dipayungi oleh spiritual.
Matematika
merupakan salah satu ilmu bidang yang keberadaannya tidak lepas dari peran para
filsuf besar dalam mensintesiskan gagasan mengenai matematika baik dalam aspek
epistemologi, ontologi maupun aksiologi hingga pada perkembangannya menjadi
ilmu bidang sekaligus aplikasi. Sebagai ilmu bidang, matematika dapat
diibaratkan sebagai pantai, tempat bermuaranya sungai yang dapat ditelusuri
sampai pada hulu dan hilir di mana para filsuf dengan aliran pemikirannya
membentuk dan mempengaruhi matematika.
Secara
umum mengenai matematika, kita dapat memandangnya sebagai corak penampakan yang
dipengaruhi oleh epistemologi, ontology dan aksiologi filsafat. Adapun secara
mendetail, kita bisa merunutnya berdasar sungai-sungai yang mengalirinya. Maka
dalam pembahasan ini akan diuraikan bagaimana penerapan dan contohnya dalam pembelajaran
matematika dari ketiga sisi tersebut dan penerapan khusus dari aliran
pemikiran pada filsafat itu sendiri.
Memandang
objek dari ketiga segi inti dari filsafat berarti memandangnya menurut asal muasalnya,
bagaimana cara berpikir sekaligus hakikat objek dan nilai atau value objek tersebut. Pembelajaran
merupakan salah satu sarana bagi siswa untuk memperoleh apa yang menjadi tujuan
dalam pendidikan. Maka, wadah dan isi pembelajaran ditentukan oleh apa yang menjadi
tujuan pendidikan. Para filsuf mulai dari Thales, Plato, Aristoteles hingga
filsuf jaman modern telah mensintesiskan hal ini. Mulai dari definisi ilmu,
definisi berpikir, hingga terdapat referensi dari Paul Ernest yang menyatakan
bahwa dunia pendidikan terbagi berdasarkan ideologi yang mendasarinya. Terdapat
setidaknya lima jenis ideology yaitu industrial trainer, technological
pragmatist, old humanist, progressive educator dan public educator.
Secara
garis besar, 3 ideologi pertama yang disebutkan cenderung mengarah pada hasil
yang dapat diukur sedangkan pada 2 ideologi terakhir menjadikan pembelajaran
sebagai aktivitas dengan berbagai aspek yang hendak dikembangkan dari diri
siswa. Ernest (1999:27) menyatakan bahwa dalam perspektif pembelajaran Industrial Trainer, Technological Pragmatist
dan old humanist, pembelajaran sangat berorientasi pada pengukuran pembelajaran
meliputi penilaian dan hasil penilaian. Penilaian berfokus pada pengetahuan,
pemahaman dan keterampilan yang mana aspek afektif menjadi termarjinalkan dalam
pembelajaran. Ernest juga menyatakan
bahwa, “… learning is very much dominated
and overshadowed by teacher-centred instruction.” Guru berperan sangat
dominan dalam pembelajaran. Dalam terminologi lain kita bisa menyatakan sebagai
pengajaran tradisional. Adapun pada progressive educator dan public educator,
pembelajaran dipandang sebagai aktivitas, play,
eksplorasi, aktif, bertanya dan pemberdayaan.
Pandangan
mengenai pembelajaran juga sangat terkait dengan pandangan mengenai ilmu yang
dipelajari yang dalam hal ini adalah matematika. Perbedaan dalam memandang
matematika menyebabkan perbedaan dalam membelajarkannya kepada siswa. Sangat
jelas dikemukakan oleh masing-masing ideology: industrial trainer mengatakan
bahwa matematika adalah set
of truths and rules; technological pragmatist menyatakan bahwa
matematika adalah unquestioned body of useful knowledge; old humanist menyatakan
bahwa matematika adalah body of structured pure knowledge (Ernest,
1999:21) . Jika suatu ilmu itu unquestioned, telah nyata
benar dan bersifat pure maka mempelajarinya adalah secara absolute,
memungkinkan diskusi tapi diskusi yang sangat “teratur” untuk menyatakan
kebenaran ilmu tersebut. Di titik ini pengaruh pijakan filsafat terhadap
pembelajaran terlihat dengan sangat nyata.
Epistemological foundation of
mathematics memunculkan status dan fondasi
pengetahuan matematika dengan menguji “the
basis of mathematical knowledge” dan “the
certainty of mathematical judgments”. Karena menguji “the basis of mathematical knowledge” dan “the certainty of mathematical judgments” maka terdapat beberapa
jenis epistemological foundation of
mathematics sesuai dengan sintesis para filsuf mengenai dua hal tersebut.
Pertama, para filsuf pada zaman filsafat alam menyatakan bahwa matematika dan
metodenya dapat digunakan untuk menggambarkan alam. Menurut Nikulin D., matematika dapat memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak
bisa menjadi sebaliknya dan
karena itu tidak berkaitan dengan hal-hal
fisik, yang mana hanya akan
menjadi hal-hal yang mungkin benar. Adapun Ernest menyatakan bahwa aliran
absolutism dalam matematika meliputi logicism, formalism, intuitionism and platonism
menganggap matematika sebagai “body of
absolute and certain knowledge”. Ernest sendiri menyatakan bahwa matematika
dapat dibenarkan, dapat keliru dan merupakan produk sosial yang berubah.
Lakatos yang
terkenal dengan fallibism-nya. menyatakan
bahwa pencarian terhadap kepastian dalam matematika mengarah kepada kemunduran yang
tak terbatas (infinite regress). Saat
ini
setiap sistem matematika mutlak tergantung pada seperangkat asumsi.
Karena tidak memungkinkan untuk menghilangkan semua asumsi, menurut Lakatos, yang bisa kita
lakukan adalah meminimalkan
penggunaan asumsi tersebut. Karena
selalu mengandalkan asumsi, Lakatos menegaskan bahwa setiap upaya untuk
membangun kepastian dalam matematika melalui
logika deduktif dan sistem aksiomatis akan
gagal.
Epistemological
foundation of mathematics akan mengarahkan kita pada dua aliran besar dalam
matematika yang hingga kini mewarnai dunia pendidikan tinggi dan pendidikan
dasar-menengah. Keduanya adalah absolutism
dan fallibism-constructivism. Absolutism yang merupakan perwujudan dari
Platonism, mewarnai dunia pendidikan dengan pure
mathematics-nya sedangkan fallibism-constructivism
berasal dari Aristotelian yang menghendaki matematika bukan sebagai struktur
formal yang tertutup dan absolut tetapi sebagai kegiatan, kaya dengan proses
membangun, memandang bahwa matematika itu tidak terbebas dari kesalahan.
Construktivism
dalam kajian filsafat adalah cara manusia membangun kehidupannya itu sendiri. Maka,
constructivism adalah hermeneutika itu sendiri. Dalam kehidupan keluarga
misalnya, prinsip interaksi yang
mendasarkan pada constructivism menyebabkan masing-masing anggota keluarga
untuk saling membangun kebahagiaan, kemampuan, penerimaan, yang didasarkan pada
kepercayaan. Maka pembelajaran matematika yang didasarkan pada constructivism
akan menekankan pada membangun pengetahuan, pemahaman, aspek psikologis, sosial
dan interpersonal siswa dengan didasarkan atas kepercayaan. Kepecayaan dalam
hal ini adalah bahwa guru mempercayai bahwa siswa memiliki kemampuan jika
diberi kesempatan. Maka constructivism jauh letaknya dari determinis, di mana
guru telah menetapkan sifat siswa atau membuat prejudice yang diistilahkan juga
dengan menutupi sifat-sifat siswanya. Guru dalam kondisi demikian telah
melakukan reduksi terhadap sifat siswa.
Constructivisme sendiri berawal dari
gagasan Aristoteles yang merupakan penolakan terhadap Platonism. Berkaitan
dengan hal ini, Wilder R.L. menyatakan bahwa dalam
sudut pandang constructivism obyek matematika ada hanya jika dapat dibangun
(dikonstruk). Berangkat dari
pandangan ini, semua objek matematika seharusnya adapat dikonstruk dan dibawa
ke dalam pembelajaran matematika. Menurut
Kant, constructivism berngakat dari kesadaran akan keterbatasan, ketidaksempurnaan
dan kerentanan manusia. Manusia terancam dengan klaim yang tidak benar sehingga
kata Kant, “thus they need to check and
criticize the unjustified and arbitrary assumptions they make in reasoning.”
Ada dua hal yang layak dipertimbangkan dalam hal ini yaitu intusi dan
introspeksi.
Selnjutnya, sampai di titik ini, kami
kembali teringat makna belajar filsafat. Berfilsafat adalah untuk menjadikan diri kita sensitif
terhadap kehidupan, menginstrospeksi apa yang kurang tepat dalam diri dan
kehidupan, selanjutnya berbuat untuk menjadi saksi terhadap diri dan kehidupan
itu sendiri. Tujuan yang baik harus dicapai
dengan cara yang baik pula. Maka, dalam filsafat juga terdapat adab-adabnya: dilakukan
secara kontinyu agar tercapai kondisi harmoni, sehat secara filsafat;
menempatkan spiritual di atas filsafat sehingga kegiatan olah pikir berada pada
track yang benar; menggunakannya
dalam ruang dan waktu yang tepat.
Referensi:
Ernest,
P. 1999. Restoring Discipline to The
Class: The New National Curriculum for Primary Mathematics Teacher Education
dalam The Philosophy of Mathematics Education Journal. Tersedia di
people.exeter.ac.uk/PErnest/pome11/pome11.doc. Diakses pada tanggal 23 November
2012
Perkuliahan
Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Dr. Marsit, M.A. pada semester gasal tahun
akademik 2012/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar