Cermin #7
Mengintip Orang Belajar Filsafat dari Sumber Primer
The Critique of Pure Reason, 1871, by Immanuel Kant
Sumber: booksshouldbefree.com
Dalam
dunia hakikat terdapat dua prinsip berpikir yaitu identitas dan kontradiksi. Prinsip
identitas (analitik) menyatakan bahwa subjek termuat sepenuhnya dalam predikat
dan predikat termuat sepenuhnya dalam subjek atau, subjek sama dengan predikat
dan predikat sama dengan subjek. Prinsip identitas direpresentasikan dengan
notasi S = P dan P = S. Adapun prinsip kontradiksi (sintetik) menyatakan bahwa subjek
tidak sama dengan predikat dan predikat tidak sama dengan subjek atau dengan
kata lain, P termuat dalam S. Karena P termuat dalam S, maka S tidak seutuhnya
sama dengan P, artinya P tidak benar-benar sama dengan S. Prinsip kontradiksi
direpresentasikan dengan notasi S ≠ P dan P ≠ S.
Analitik
dan sintetik dalam The Critique of Pure
Reason dipandang sebagai cara pengambilan keputusan (judgement). Pengambilan judgement secara analitik yang
didasarkan pada kebenaran koherensi dan konsistensi. Adapun pengambilan
keputusan secara sintetik berdasarkan pengalaman (intuisi empiris). Di sisi
lain, cara analitik juga melibatkan intuisi yaitu intuisi murni (pure intuition).
Seperti
apakah Immanuel Kant menjelaskan cara
analitik dan sintetik? Cara sintetik adalah ketika B termuat di A. Dicontohkan
oleh Pak Marsigit, ketika kita mengatakan, ”Saya melihat.” merupakan contoh cara
sintetik, karena “melihat” hanya salah satu dari sifat saya. Sifat “melihat”
termuat dalam diri saya. Adapun kita mengambil keputusan secara analitik yaitu
ketika B terletak secara penuh masuk ke dalam A, dituliskan sebagai B = A. Karena
B = A, maka kita juga dapat menyatakan bahwa A=A. Immanuel Kant menyatakan bahwa tidak ada predikat,
kondisi atau sifat yang benar-benar secara penuh masuk ke subjek kecuali yang
ada hanya dalam pikiran (idealisasi).
Immanuel
Kant mencontohkan kalimat berikut, “Semua benda itu berkembang.” Pada kalimat
ini, predikat benar-benar dinyatakan sama dengan subjek. Ini serupa dengan jika
kita menyatakan bahwa una=inu. Dua pernyataan tersebut berdasar pada perjanjian
atau kesepakatan. Inilah pengambilan keputusan secara analitik.
Sintetik
juga dapat dinyatakan sebagai cara pengambilan keputusan tanpa prinsip
identitas. Misalnya, pada kalimat “Semua benda mempunyai berat.” di mana kita bisa
memaknai “berat” yang berbeda dengan “benda”. Berat hanyalah salah 1 sifat dari
benda.
Immanuel
Kant juga mentyatakan bahwa semua reason
memenuhi prinsip a priori. Bagaimana memperoleh prinsip a priori adalah melalui
pengalaman, disebut sintetical judgement.
Bukankah kita bisa memperoleh a priori telah memiliki pengalaman juga?
Mathematical judgement
seharusnya dilakukan secara sintetik, berbeda dengan mathematics yang kita pikirkan (idealisasi). Sebagai contoh adalah kalimat
matematika berikut, 7+5=12, apakah termasuk analitik atau sintetik? Kita
memilih sintetik jika kita memandang bahwa 7+5 tidak sama dengan 12. 7+5=12 sebagai
kondisi yang bebas dari ruang dan waktu adalah pengambilan keputusan secara
analitik sebagaimana yang dilakukan pure mathematician. Pengambilan keputusan secara
sintetik adalah terikat dalam ruang dan waktu. Artinya, berbeda makna antara
kondisi yang kita pikirkan dengan yang dituliskan. Bahwa 2=2 hanya benar ketika
kita pikirkan tetapi ketika kita tulis maka menjadi tidak benar lagi karena ada
2 yang pertama dituliskan dan 2 yang dituliskan kedua. Di sinilah ruang dan
waktu telah berperan.
Logika
transenden yang dibuat Immanuel Kant berisi tentang kategori. Bagaimana Kant
memperoleh atau memproduksinya? Melalui intuisi. Kategori kuantitas dari universal,
particular dan singular. Adapun kategori kualitas terdiri dari affirmative,
negative dan infinite. Kategori relasi terdiri categorical, hypothetical dan disjunctive.
Adapun modalitas terdiri dari problematical, assertorical dan apodeictical. Apodiktik
disebut juga rigorness atau konsistensi. Assertorical berarti catatan dengan
maksud bahwa berpikir perlu keterangan, misalnya ketika mengatakan, “Maksud
saya begini, ...” Semua kategori berpikir telah tercakup pada kategori yang
dibuat Kant ini.
Analitik
bermetode deduksi di mana keduanya memiliki chemistry.
Deduksi harmoni dengan understanding sehingga sesuai untuk adult learner, tetapi kurang harmoni dengan pengalaman sehingga tidak
sesuai untuk membelajarkan young learner.
Inilah sebab mendasar mengapa membelajarkan matematika untuk young learner tidak bermakna adil untuk
mereka jika ditempuh secara deduktif.
Deduksi
yang bersifat empiris disebut sebagai empirical
deduction yaitu jenis deduksi selain transedental deduction. Kant
menyatakan bahwa deduksi tidak terdapat pada hal empiris. Transedental deduction bisa terjadi tetapi tidak bisa terjadi
sebagai empirical deduction. Maka
usaha menemukan empirical deduction di
pure mathematics adalah sia-sia.
Pada
bahasan transedental deduction of categories
dinyatakan bahwa pengalaman bersifat naik dan digunakan untuk berpikir. Ada
kategori terlebih dahulu sehingga kita bisa membedakan. Pengalaman bersifat
manifold: berurutan, berkelanjutan, kesatuan (berkaitan dengan waktu). Intuisi
mendahului pikiran. Jika kita mengatakan, “Saya pikir, …” maka kita sedang
mencari intuisi. Jika kita ingin memahami hakikat maka dapat ditempuh dengam
mengaitkan intuisi dan kesadaran (conciousness),
meletakkan kesadaran di depan hakikat.
Apersepsi
bersifat sintetik. Kesatuan apersepsi disebut sebagai kesatuan transendental dari
kesadaran diri. Kesadaran diri ini penting untuk bisa berpikir a priori. Dengan
kata lain, untuk bisa berpikir (a priori) maka kita harus memiliki kesadaran
yang bersifat manifold (akumulatif). Apersepsi yang membentuk kesadaran inilah
sebagai titik tertimggi dari semua kegiatan berpikir. Maka apersepsi dalam
pembelajaran hakikatnya adalah menyiapkan siswa agar bisa berpikir dengan
membangun kesadaran berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Dalam
Buku II yaitu “Analitic of Principles”,
Kant menyatakan bahwa principles juga
bersifat analitik, maka kemudian terdapat formal
logic atau formal mathematics. Dalam
hal ini dikenal istilah transedental
faculty of judgement atau kemampuan transendental dari pengambilan
keputusan. Tersebutlah doktrin yang semakna dengan konsep, kategori, prinsip, rule yang digunakan oleh pure mathematician dalam membangun mathematics.
Referensi:
Kant, I. 1781. The Critique of Pure Reason. Translated
by J. M. D. Meiklejohn. Tersedia di http://www2.hn.psu.edu/faculty/jmanis/kant/Critique-Pure-Reason.pdf.
Diakses pada tanggal 1 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar