Sabtu, 01 Desember 2012

Mengintip Orang Belajar Filsafat dari Sumber Primer


Cermin #7

Mengintip Orang Belajar Filsafat dari Sumber Primer



The Critique of Pure Reason, 1871, by Immanuel Kant

Sumber: booksshouldbefree.com


Dalam dunia hakikat terdapat dua prinsip berpikir yaitu identitas dan kontradiksi. Prinsip identitas (analitik) menyatakan bahwa subjek termuat sepenuhnya dalam predikat dan predikat termuat sepenuhnya dalam subjek atau, subjek sama dengan predikat dan predikat sama dengan subjek. Prinsip identitas direpresentasikan dengan notasi S = P dan P = S. Adapun prinsip kontradiksi (sintetik) menyatakan bahwa subjek tidak sama dengan predikat dan predikat tidak sama dengan subjek atau dengan kata lain, P termuat dalam S. Karena P termuat dalam S, maka S tidak seutuhnya sama dengan P, artinya P tidak benar-benar sama dengan S. Prinsip kontradiksi direpresentasikan dengan notasi S ≠ P dan P  ≠  S.
Analitik dan sintetik dalam The Critique of Pure Reason dipandang sebagai cara pengambilan keputusan (judgement).  Pengambilan judgement secara analitik yang didasarkan pada kebenaran koherensi dan konsistensi. Adapun pengambilan keputusan secara sintetik berdasarkan pengalaman (intuisi empiris). Di sisi lain, cara analitik juga melibatkan intuisi yaitu intuisi murni (pure intuition).
Seperti apakah Immanuel Kant  menjelaskan cara analitik dan sintetik? Cara sintetik adalah ketika B termuat di A. Dicontohkan oleh Pak Marsigit, ketika kita mengatakan, ”Saya melihat.” merupakan contoh cara sintetik, karena “melihat” hanya salah satu dari sifat saya. Sifat “melihat” termuat dalam diri saya. Adapun kita mengambil keputusan secara analitik yaitu ketika B terletak secara penuh masuk ke dalam A, dituliskan sebagai B = A. Karena B = A, maka kita juga dapat menyatakan bahwa  A=A. Immanuel Kant menyatakan bahwa tidak ada predikat, kondisi atau sifat yang benar-benar secara penuh masuk ke subjek kecuali yang ada hanya dalam pikiran (idealisasi).
Immanuel Kant mencontohkan kalimat berikut, “Semua benda itu berkembang.” Pada kalimat ini, predikat benar-benar dinyatakan sama dengan subjek. Ini serupa dengan jika kita menyatakan bahwa una=inu. Dua pernyataan tersebut berdasar pada perjanjian atau kesepakatan. Inilah pengambilan keputusan secara analitik.
Sintetik juga dapat dinyatakan sebagai cara pengambilan keputusan tanpa prinsip identitas. Misalnya, pada kalimat “Semua benda mempunyai berat.” di mana kita bisa memaknai “berat” yang berbeda dengan “benda”. Berat hanyalah salah 1 sifat dari benda.
Immanuel Kant juga mentyatakan bahwa semua reason memenuhi prinsip a priori. Bagaimana memperoleh prinsip a priori adalah melalui pengalaman, disebut sintetical judgement. Bukankah kita bisa memperoleh a priori telah memiliki pengalaman juga?
Mathematical judgement seharusnya dilakukan secara sintetik, berbeda dengan mathematics yang kita pikirkan (idealisasi). Sebagai contoh adalah kalimat matematika berikut, 7+5=12, apakah termasuk analitik atau sintetik? Kita memilih sintetik jika kita memandang bahwa 7+5 tidak sama dengan 12. 7+5=12 sebagai kondisi yang bebas dari ruang dan waktu adalah pengambilan keputusan secara analitik sebagaimana yang dilakukan pure mathematician. Pengambilan keputusan secara sintetik adalah terikat dalam ruang dan waktu. Artinya, berbeda makna antara kondisi yang kita pikirkan dengan yang dituliskan. Bahwa 2=2 hanya benar ketika kita pikirkan tetapi ketika kita tulis maka menjadi tidak benar lagi karena ada 2 yang pertama dituliskan dan 2 yang dituliskan kedua. Di sinilah ruang dan waktu telah berperan.  
Logika transenden yang dibuat Immanuel Kant berisi tentang kategori. Bagaimana Kant memperoleh atau memproduksinya? Melalui intuisi. Kategori kuantitas dari universal, particular dan singular. Adapun kategori kualitas terdiri dari affirmative, negative dan infinite. Kategori relasi terdiri categorical, hypothetical dan disjunctive. Adapun modalitas terdiri dari problematical, assertorical dan apodeictical. Apodiktik disebut juga rigorness atau konsistensi. Assertorical berarti catatan dengan maksud bahwa berpikir perlu keterangan, misalnya ketika mengatakan, “Maksud saya begini, ...” Semua kategori berpikir telah tercakup pada kategori yang dibuat Kant ini.
Analitik bermetode deduksi di mana keduanya memiliki chemistry. Deduksi harmoni dengan understanding sehingga sesuai untuk adult learner, tetapi kurang harmoni dengan pengalaman sehingga tidak sesuai untuk membelajarkan young learner. Inilah sebab mendasar mengapa membelajarkan matematika untuk young learner tidak bermakna adil untuk mereka jika ditempuh secara deduktif.
Deduksi yang bersifat empiris disebut sebagai empirical deduction yaitu jenis deduksi selain transedental deduction. Kant menyatakan bahwa deduksi tidak terdapat pada hal empiris. Transedental deduction bisa terjadi tetapi tidak bisa terjadi sebagai empirical deduction. Maka usaha menemukan empirical deduction di pure mathematics adalah sia-sia.
Pada bahasan transedental deduction of categories dinyatakan bahwa pengalaman bersifat naik dan digunakan untuk berpikir. Ada kategori terlebih dahulu sehingga kita bisa membedakan. Pengalaman bersifat manifold: berurutan, berkelanjutan, kesatuan (berkaitan dengan waktu). Intuisi mendahului pikiran. Jika kita mengatakan, “Saya pikir, …” maka kita sedang mencari intuisi. Jika kita ingin memahami hakikat maka dapat ditempuh dengam mengaitkan intuisi dan kesadaran (conciousness), meletakkan kesadaran di depan hakikat.
Apersepsi bersifat sintetik. Kesatuan apersepsi disebut sebagai kesatuan transendental dari kesadaran diri. Kesadaran diri ini penting untuk bisa berpikir a priori. Dengan kata lain, untuk bisa berpikir (a priori) maka kita harus memiliki kesadaran yang bersifat manifold (akumulatif). Apersepsi yang membentuk kesadaran inilah sebagai titik tertimggi dari semua kegiatan berpikir. Maka apersepsi dalam pembelajaran hakikatnya adalah menyiapkan siswa agar bisa berpikir dengan membangun kesadaran berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Dalam Buku II yaitu “Analitic of Principles”, Kant menyatakan bahwa principles juga bersifat analitik, maka kemudian terdapat formal logic atau formal mathematics. Dalam hal ini dikenal istilah transedental faculty of judgement atau kemampuan transendental dari pengambilan keputusan. Tersebutlah doktrin yang semakna dengan konsep, kategori, prinsip, rule yang digunakan oleh pure mathematician dalam membangun mathematics.

Referensi:
Kant, I. 1781. The Critique of Pure Reason. Translated by J. M. D. Meiklejohn. Tersedia di http://www2.hn.psu.edu/faculty/jmanis/kant/Critique-Pure-Reason.pdf. Diakses pada tanggal 1 Desember 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar